Mantan Suami Wajib memberikan Nafkah Mut’ah

Ahmad Ramzy, advokat yang menangani perkara perceraian menambahkan dari pengalamannya justru mayoritas klien yang ditangani tidak mempermasalahkan tentang nafkah. Sebab mereka sebenarnya hanya ingin berpisah dengan pasangan karena merasa sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangga.

“Mungkin ada sekitar 70-80 persen perkara yang saya tangani di Jakarta tidak mengajukan nafkah. Rata-rata mereka tidak mau terhalang perceraian gara-gara nafkah, itu alasan mereka tidak mengajukan nafkah-nafkah itu, karena kan intinya cerai,” pungkasnya.

Mantan Ketua DPW Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Jakarta ini menjelaskan biasanya klien yang pernah ditangani sebelum menikah sudah mempunyai perjanjian dengan pasangan. Sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti perceraian maka salah satu pihak tidak mau merepotkan atau memperdebatkan nafkah-nafkah ini.

“Ada deal sebelum bercerai, ada juga biasanya si istri tau kemampuan suami, daripada menuntut malah masalah panjang sehingga tidak mau,” tuturnya.

Menurut Ramzy fenomena seperti ini untuk di kota besar seperti Jakarta bukan hal yang aneh. Karena pasangan yang bercerai sebenarnya hanya ingin mempermudah proses perceraian secara resmi sehingga hak-hak yang seharusnya bisa mereka dapatkan, khususnya dari sisi istri seperti mut’ah, nafkah iddah, kiswah, hingga nafkah anak tidak menjadi prioritas utama.

“Dari pengalaman saya Pengadilan Agama justru lebih menyarankan kalau mau cerai ya cerai dulu aja, kalau soal harta gono gini itu gugatan menyusul,” terangnya.

Cabut gugatan nafkah anak

Salah satu contoh perkara perceraian di mana pihak istri tidak menuntut adanya pemberian nafkah pada anak belum mumayyiz yang diperoleh hukumonline yaitu pada suatu perkara yang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sebenarnya, di sini Penggugat (mantan istri) meminta kepada pengadilan agar ia memperoleh hak asuh bagi anaknya yang belum mumayyiz yang tidak diputuskan dalam putusan perceraian sebelumnya.

Mulanya penggugat yang bekerja di salah satu bank swasta nasional meminta majelis pada petitum ketiga untuk mengabulkan gugatan pemberian nafkah sebesar Rp4 juta per bulan ditambah dengan biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak dewasa dan bisa mandiri. Namun belakangan gugatan itu dicabut oleh penggugat.

“Oleh karena itu, maka dibacakan gugatan Penggugat kemudian Penggugat menyatakan mencabut gugatan pada poin tiga gugatan tentang nafkah anak, terhadap gugatan hak pemeliharaan/hadhanah tetap dipertahankan oleh Penggugat,” ujar majelis.

Untuk membuktikan dalil gugatan, Penggugat memberikan bukti baik itu surat keterangan bahwa Penggugat adalah Ibu kandung dari anak Penggugat dan Tergugat melalui akta kelahiran Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Pusat, bertanggal 30 April 2003 dan bukti-bukti lainnya dan fotokopi akta cerai bertanggal 22 Desember 2011.

Selain itu Penggugat juga menghadirkan dua saksi, pertama ibu kandung Penggugat dan kedua kakak kandung Penggugat. Dalam kesaksiannya kedua saksi tersebut salah satu keterangan yang disampaikan yaitu Penggugat yang membiayai dan menafkahi anaknya, karena Penggugat bekerja dan memperoleh penghasilan tetap.

Karena pihak Tergugat tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut, dan melihat dari bukti, keterangan saksi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pendapat ahli fiqih dari kitab I’anatuthalibin jilid IV 101-102 yang artinya “Diutamakan mengurus anak yang belum mumayyiz ialah ibunya yang janda dan kalau sudah mumayyiz dan ibu bapaknya telah bercerai, maka dia boleh tinggal di pihak mana yang ia suka,” maka majelis menetapkan Penggugat memperoleh hak asuh anak yang ketika putusan ini dibuat masih usia sekolah di Sekolah Menengah Pertama.

Sementara mengenai nafkah yang gugatannya dicabut, majelis tidak mempertimbangkan lagi hal tersebut. “Menimbang, bahwa Penggugat mencabut gugatannya tentang nafkah anak, oleh karena itu terhadap gugatan tersebut dipandang tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar majelis hakim yang diketuai Muh. Rusydi Thahir dengan anggota Athiroh Muchtar dan Zaenal Arifin tersebut.

Sumber : Hukumonline.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup