Mantan Suami Wajib memberikan Nafkah Mut’ah

JAKARTA – Jumlah kepala keluarga atau kepala rumah tangga perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun terutama di daerah konflik dan bencana. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 sebanyak 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7 persen perempuan sebagai kepala keluarga dengan salah satu faktor penyebab karena bercerai dengan suaminya.

Kemudian suami tidak jadi pencari nafkah utama karena difabel atau kehilangan pekerjaan, suami pergi dalam waktu lama tanpa memberi nafkah serta karena belum menikah tetapi punya tanggungan keluarga. Ada juga perempuan yang suaminya tak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena poligami, pengangguran atau sakit.

Padahal dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah jelas yang wajib memberi nafkah adalah suami. “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya,” begitu bunyi Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan:

Kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri dijelaskan secara lebih rinci dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI): sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan c. biaya pendididkan bagi anak.

Kewajiban di atas, berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (5) KHI, mulai berlaku bagi suami sesudah ada tamkin yang sempurnadari istri yang berarti istri telah merelakan dirinya untuk melayani suaminya, dalam konteks ini, yaitu berhubungan badan (dukhul). Berdasarkan pasal diatas, apabila istri telah memberikan tamkin yang sempurna maka suami tidak hanya menanggung biaya bagi anak, namun juga keperluan istri.

Namun di beberapa daerah apalagi kota besar, banyak dari istri yang mempunyai penghasilan lebih besar daripada suami, tak jarang pula mereka yang justru menjadi kepala rumah tangga. Dilansir dari Huffington Post, Studi dari Harvard Business School menyebutkan, kesenjangan penghasilan bisa memiliki dampak besar pada hubungan, terutama jika penghasilan istri lebih besar daripada suami.

Setidaknya ada lima potensi masalah yang akan terjadi, pertama mempengaruhi kehidupan keintiman berhubungan badan antara suami istri, kedua suami merasa diremehkan, ketiga istri tidak nayaman karena merasa mempunyai tanggung jawab lebih besar, suami merasa tidak berguna dan terakhir suami dan istri justru mempunyai tugas yang berkebalikan.

Jika hal ini terjadi maka perpecahan rumah tangga yang berujung perceraian sudah di depan mata. Pertanyaannya bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi?

Ahli Hukum Perkawinan Fal Arovah Windiani mengatakan jika terjadi talak maka hak bagi seorang istri untuk mendapatkan nafkah meskipun penghasilan istri lebih besar dari pada suami.

Pada Pasal 149 KHI menyebutkan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan nafkah mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.

Kemudian memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil, melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul dan memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Sementara dalam Pasal 158 KHI menyebutkan mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi istri ba`da al dukhul dan juga perceraian itu atas kehendak suami. “Kalau pada waktu ditalak hak itu melekat. Kalau istri kan statusnya hak, itu tergantung pada yang bersangkutan. Kalau dilihat dari formasi cerai, cerai gugat dan cerai talak, kalau suami yang ajukan cerai hak melekat ke istri, kalau istri minta atau tidak tergantung dia,” ujar Arovah yang dilansir Hukumonline.com.

Arovah menjelaskan dalam suatu rumah tangga jika suami dan istri sama-sama mempunyai hal itu cukup wajar dan merupakan kerja sama antar keduanya. “Di Al-Quran Surat An-Nisa ayat 1, itu penekanan Allah untuk saling minta. Dalam Bahasa hukum ada istilah equal, setara, kalau di Quran itu bukan hanya setara, tapi setara dalam minta, flat nya ke bawah. Kalimat itu menarik buat saya,” ujar wanita yang pernah menjadi Calon Hakim Agung ini.

Berikut terjemahan Quran Surat An-Nisa yang dimaksud: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu,”

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta ini menambahkan, jika istri mempunyai penghasilan maka itu untuk dirinya sendiri, dan apabila ia memberikan nafkah untuk keluarga itu dinamakan Shodaqoh. Sebaliknya, jika suami memberi nafkah untuk keluarga itu memang sudah merupakan kewajibannya.

“Di UU 1 1974 (UU Perkawinan) berbeda dengan KHI. Di UU 1974, itu ada namanya harta bersama, sementara di KHI pada dasarnya tidak ada harta bersama. Konsep islam, apa yang dihasilkan istri milik istri seluruhnya,” jelasnya.

Tak meminta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup