Fenomena Feminisme Nanggung: Menolak Dukungan terhadap LGBT
Apa itu Feminisme?
Feminisme adalah gerakan sosial, politik, dan intelektual yang memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik. Kata “feminisme” pertama kali digunakan oleh Charles Fourier pada tahun 1837. Sebelumnya, perjuangan semacam ini dikenal dengan istilah womanism atau the woman movement.
Mary Wollstonecraft, seorang pemikir awal dari Inggris, menyuarakan hak perempuan atas pendidikan dalam bukunya A Vindication of the Rights of Woman (1792). Begitu pula Olympe de Gouges dari Prancis yang menulis Declaration of the Rights of Woman and the Female Citizen sebagai respons atas eksklusivitas Declaration of the Rights of Man and the Citizen (1789) yang hanya mengakui hak laki-laki.
Namun, feminisme bukanlah paham yang tunggal. Rebecca West pernah berkata, “I only know that people call me a feminist whenever I express sentiments that differentiate me from a doormat.” Madeleine Pelletier menambahkan, “Setiap feminis memiliki pandangan pribadi sendiri tentang feminisme.”
Aliran Feminisme Barat
Feminisme di Barat berkembang dalam berbagai aliran:
Feminisme Liberal: menekankan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di ruang publik melalui reformasi hukum.
Feminisme Marxis: melihat penindasan terhadap perempuan sebagai bagian dari sistem kapitalisme dan menginginkan perubahan struktural ekonomi.
Feminisme Radikal: berfokus pada akar patriarki dan menganggap sistem sosial secara keseluruhan harus dirombak untuk membebaskan perempuan.
Feminisme Postmodern/Interseksional: mengakui perbedaan identitas dan pengalaman berdasarkan ras, kelas, orientasi seksual, dll.
Feminisme Islam: Sebuah Perbedaan Pendekatan
Feminisme Islam muncul dengan pendekatan berbeda. Menurut Prof. Alimatul Qibtiyah, feminisme Muslim adalah “usaha untuk memastikan perempuan tidak mengalami diskriminasi dari pemahaman dan praktik beragama.” Tujuannya adalah memperbaiki kehidupan perempuan berdasarkan nilai-nilai Islam yang diyakini.
Namun, dalam tulisan Kamila Jasmine, penulis menyatakan bahwa menyamakan perjuangan Islam dengan feminisme adalah bentuk oversimplifikasi. Islam memiliki paradigma teosentris, yaitu menjadikan Tuhan sebagai otoritas tertinggi, sedangkan feminisme cenderung antroposentris, menjadikan manusia sebagai pusat nilai dan norma.
Kamila menegaskan bahwa Islam tidak membutuhkan feminisme untuk membela hak-hak perempuan, karena syariat Islam sudah menjamin keadilan dan perlindungan bagi perempuan tanpa perlu mengadopsi ideologi sekuler.
Apakah Rasulullah Seorang Feminis?
Beberapa netizen menganggap Rasulullah ﷺ sebagai feminis karena beliau:
Mendorong pendidikan bagi perempuan.
Menghapuskan praktik pembunuhan bayi perempuan.
Memberi hak waris bagi perempuan.
Mengizinkan istri (Khadijah) tetap bekerja.
Namun, Kamila menolak klaim ini. Menurutnya, feminisme lahir dari kekecewaan terhadap institusi agama (non-Islam) di Barat yang memang menindas perempuan. Sementara, Rasulullah ﷺ membawa Islam yang justru menyelamatkan perempuan dari penindasan jahiliah, dengan pendekatan berbasis wahyu dan fitrah.
Dalam feminisme, identitas gender bisa dipisahkan dari jenis kelamin biologis. Misalnya istilah “pregnant people” menggantikan “ibu hamil”. Ini bertolak belakang dengan Islam yang menegaskan fitrah laki-laki dan perempuan.
Pandangan Tokoh: Feminisme Muslim & Feminisme Nanggung
Beberapa tokoh dan komunitas feminis Indonesia secara eksplisit menolak keberadaan “feminis nanggung” yaitu orang yang mengaku feminis tetapi menolak dukungan terhadap LGBTQ+. Dalam postingan akun Indonesia Feminis, disebutkan:
“Nggak ada lah feminis tapi nggak dukung LGBT.”
Pernyataan ini disorot oleh artikel Mojok berjudul “Pahitnya Menjadi Feminis Nanggung”, yang mengkritik dilema Muslim yang mencoba merangkul feminisme namun tetap ingin konsisten dengan nilai-nilai Islam.
Sebaliknya, dalam Islam, dukungan kepada LGBTQ+ tidak bisa diterima karena bertentangan dengan ajaran yang bersumber dari wahyu. Maka, penggunaan label “feminis” untuk Rasulullah ﷺ tidak hanya keliru secara historis, tapi juga berbahaya secara teologis.
Refleksi: Kenapa Muslim Ingin Mengklaim Rasulullah Sebagai Feminis?
Penulis Kamila Jasmine mengutip Juris Arrozy, yang menyebut bahwa fenomena ini menunjukkan:
Inferiority complex umat Islam terhadap konsep Barat.
Hilangnya tradisi keilmuan kritis dalam menyerap konsep asing.
Terputusnya koneksi dengan warisan intelektual Islam selama 14 abad.
Islam sudah sangat cukup untuk membela perempuan tanpa harus menjadi feminis. Keadilan bagi perempuan adalah bagian dari iman, bukan agenda ideologi Barat. Istilah feminisme lebih baik tidak digunakan karna istilah akan mempengaruhi terhadap cara pandang.
“Rasulullah ﷺ dan para istri beliau bertindak berdasarkan wahyu, bukan my body my choice.”
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.” ( QS. Al-Baqarah: 208).
Penulis: Rohilah