Menepis Banyak Anak, Banyak Rezeki: Anak Sebagai Subjek Bukan Objek Ekonomi
Disudut-sudut kumuh desa, mimpi-mimpi anak mati pelan-pelan; bukan karena mereka bodoh, bukan karena mereka malas, tapi karena mereka dilahirkan oleh orang tua yang bahkan mereka tidak siap secara mental dan finansial untuk membesarkan manusia lain. Ironisnya, Keputusan itu dibungkus dengan dalih iman dan harapan, lalu dijustifikasi dengan slogan klise: “Banyak anak, Banyak rezeki.” Artikel ini bertujuan untuk mengkritik keras praktik kelahiran anak dalam kondisi kemiskinan yang tak berujung.
Menurut UNICEF Indonesia (2023), sekitar 4,6 juta anak Indonesia tidak bersekolah, dan 1 dari 3 anak di pedesaan mengalami stunting akibat kurang gizi. Ini bukan sekedar angka, ini adalah nyawa yang masa depannya tidak pernah benar-benar tumbuh. Anak-anak ini tidak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi dibebani dengan kemiskinan dan tanggung jawab orang dewasa. Namun kenyataannya? Banyak dari mereka dipaksa turun ke jalan, menjajakan tisu, menarik gerobak, atau mengemis, sementara anak-anak lain duduk duduk nyaman dibangku sekolah, merangkai Impian. Ini bukan Takdir, ini kelalaian yang dibudayakan.
Orang tua yang melahirkan anak tanpa kesiapan bukanlah pahlawan, bukan pula pejuang, mereka adalah penyebab luka generasi berikutnya. Tidak ada yang heroik dari melahirkan banyak anak lalu membiarkannya bertarung dengan dunia sejak usia dini. Apalagi jika alasannya karena percaya bahwa “Rezeki akan datang sendiri.” Itu bukan Iman itu ilusi. Bahkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra ayat 31, Allah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak dibunuh secara fisik, tapi perlahan dihancurkan secara mental? Tidak diberi makan yang cukup, tidak disekolahkan, tidak diasuh dengan layak, dan hanya dijadikan buruh dalam rumah sendiri? Bukankah itu juga pembunuhan yang lebih kejam karena dilakukan perlahan?
Kepada para orang tua miskin yang terus memproduksi anak tanpa perencanaan dan hanya berharap pada keberuntungan: Kalian bukan pemberani, kalian egois. Anak bukan alat panen, bukan tiang masa tua; mereka adalah manusia yang membutuhkan cinta, perhatian dan fasilitas hidup yang layak, karena kenyataannya memang pahit, tapi perlu ditegaskan: tidak semua orang tua pantas menjadi orang tua.
Oleh karenanya, kita harus berhenti mengkultuskan pepatah, “banyak anak, banyak rezeki” yang terbukti menjerumuskan banyak keluarga kedalam kemiskinan structural. Narasi ini bukan hanya usang, tapi berbahaya, karena melegalkan pemikiran tanpa tanggung jawab dan mengorbankan masa depan anak-anak yang tidak pernah memilih untuk lahir.
Narasi “banyak anak, banyak rezeki” merupakan adagium populer di Indonesia yang menggambarkan pandangan masyarakat terhadap anak sebagai sumber kesejahteraan. Kalimat ini, yang mungkin bernada positif secara spiritual, telah menjadi salah satu faktor yang memperkuat resistensi terhadap program Keluarga Berencana (KB) dan perencanaan keluarga yang rasional (Utomo, 2014).
Di tengah tantangan ekonomi, urbanisasi, dan modernisasi, frasa ini menimbulkan persoalan baru: anak diposisikan sebagai investasi masa depan atau instrumen untuk mengangkat status sosial ekonomi keluarga. Narasi ini juga sering digunakan untuk membenarkan keputusan memiliki banyak anak meskipun tidak disertai kesiapan fianasial, emosional, dan edukatif.
Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengkritisi narasi “banyak anak, banyak rezeki” dari berbagai sudut pandang ilmiah, dan menekankan pentingnya etika dalam pengasuhan anak yang berpijak pada tanggung jawab dan perlindungan hak-hak anak sebagai individu merdeka.
Hasil dan Pembahasan
- Sejarah Sosial Budaya Narasi “Banyak Anak, Banyak Rezeki”
Pada era pra-modern, terutama masyarakat agraris, anak-anak merupakan sumber tenaga kerja keluarga (Geertz, 1961). Dalam konteks tersebut, semakin banyak anak berarti semakin banyak tenaga untuk bertani atau berdagang, dan semakin tinggi pula harapan akan keberlangsungan nama keluarga. Namun, dalam masyarakat modern berbasis jasa dan informasi, logika tersebut tidak lagi relevan. Saat ini, yang dibutuhkan bukan jumlah anggota keluarga, tetapi kualitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Organisasi semacam BKKBN menyadari pentingnya keseimbangan ini melalui kampanye “Dua Anak Cukup” (BKKBN, 2022).
- Anak sebagai Subjek, Bukan Objek Ekonomi
Narasi yang memandang anak sebagai “jaminan hari tua” menciptakan beban psikologis pada anak (Hurlock, 2005). Anak-anak dituntut untuk menjadi “balas budi” terhadap pengorbanan orang tua. Hal ini menimbulkan relasi yang tidak setara, mereduksi anak sebagai alat sosial dan bukan sebagai individu yang memiliki hak dan kehendak bebas.
- Konsekuensi Ekonomi dan Sosial dari Keluarga Besar
Data dari Badan Pusat Statistik (2021) menunjukkan korelasi negatif antara jumlah anak dan kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan lebih dari tiga anak cenderung mengalami keterbatasan dalam menyediakan pendidikan, gizi, dan fasilitas dasar. Hal ini membuktikan bahwa jumlah anak tanpa didukung kesiapan sumber daya justru memperbesar risiko kemiskinan struktural.
- Etika Reproduksi dan Tanggung Jawab Pengasuhan
Memiliki anak bukanlah hak absolut yang terlepas dari tanggung jawab. Dalam etika keluarga modern, keputusan memiliki anak harus melibatkan pertimbangan moral: apakah orang tua siap memberikan waktu, perhatian, perlindungan, dan fasilitas yang diperlukan anak untuk tumbuh optimal (Giddens, 2001).
- Menafsir Ulang Makna Rezeki
Makna “rezeki” tidak melulu dalam bentuk materi. Rezeki juga dapat dimaknai sebagai hubungan yang sehat, anak yang bahagia, serta ketenangan batin yang lahir dari tanggung jawab pengasuhan yang dijalankan dengan cinta dan integritas.
Kesimpulan
Narasi “banyak anak, banyak rezeki” perlu direfleksikan ulang dalam konteks modern. Ungkapan tersebut tidak lagi relevan dalam kondisi sosial ekonomi yang menuntut kualitas, bukan kuantitas. Anak bukanlah alat investasi atau sumber keuntungan masa depan, tetapi individu yang harus dihargai dengan kasih sayang, perlindungan, dan perhatian penuh.
Rekonstruksi paradigma pengasuhan anak harus diarahkan pada pendekatan etis dan bertanggung jawab, yang mengakui anak sebagai subjek yang merdeka dan berhak atas kehidupan yang bermartabat. Negara, lembaga agama, dan pendidikan memiliki peran penting untuk menyebarkan kesadaran ini melalui pendidikan keluarga dan kebijakan publik yang adil.
Penulis: Iin Amrin