Kearifan Ekologi Bekasi dalam Mitigasi Bencana

Budayawan Bekasi Komarudin.

Sejumlah tatanan pengetahuan lokal baik berbentuk benda maupun tak benda, Yang dipahami dan diaplikasi secara turun temurun. Terbukti, warisan leluhur Bekasi ini sanggup mengampu mitigasi Bencana. Saya menyebutnya Kearifan ekologi Bekasi.

Kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia (Wahono, 2004). Kearifan lokal tidak hanya berorientasi pada etika, namun juga norma dan tindakan serta tingkah laku, Mitigasi bencana adalah segala upaya untuk mengurangi risiko bencana.

 Nah, ini dia yang digali dari Masyarakat Adat Bekasi:

Pertama, arsitektur khas bangunan rumah. Ini bisa dilihat di Saung Ranggon, Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat. Masyarakat Adat Bekasi sangat memperhatikan perkara model bangunan.

Kearifan lokal dapat dilihat dari bangunan (rumah) dimana masyarakat adat sangat memperhatikan teknik sambung dan ikat bangunan, bahan, kerangka, dinding hingga atap. Cobalah sekali-kali main ke Saung Ranggon, Cikedokan.

 Kita akan dapatkan bangunan berbentuk panggung. Sehingga sudah siap siaga mengenali bahaya Kurangi resiko dan siap selamat. Bila terjadi banjir.

Model panggung juga cara berjaga-jaga dari hewan buas dan demi kepentingan ekonomis. Karena biasanya di kolong panggung di pelihara hewan-hewan ternak. Seperti ayam dna kambing.

Bahan dengan kerangka dan dinding terbuat dari kayu. Sambungan tidak menggunakan paku besi tapi menggunakan pasak. Ini mirip model knock down seperti hari ini. Sehingga para ahli memperkirakan model seperti ini sanggup mengantisipasi bencana gempa.

 Rumah adat Nusantara memang khas dan sangat siap mengantisipasi bencana. Ini dapat dilihat pada beberapa rumah tradisional seperti rumah Gadang (Minangkabau) rumoh krong bade(Aceh), Rumah Baghi/Basemah (Sumatera Selatan) dan Rumah Omo Hada (Nias).

Telah banyak publikasi yang membuktikan bahwa rumah-rumah tersebut merupakan rumah yang tahan gempa. Oktaviani & Prihatmaji (2019) menemukan bahwa tektonika struktur konstruksi rumah Gadang yang merupakan bangunan lama terbukti merupakan struktur konstruksi ramah gempa dan bisa diterapkan pada bangunan pada daerah tropis rawan gempa.

Kuatnya struktur rumah Gadang bahkan sampai diterapkan pada beberapa struktur hotel resor di Kawasan Wisata Mandeh, Sumatera Barat (Rizantana et al 2017). 

 Kedua, Tata Ruang

Selain arsitektur rumah, Leluhur Bekasi juga mewarisan Tata Ruang yang ramah lingkungan, berkelanjutan, sistematis dan terstruktur rapih. Hebat dah!

Ada pemukiman. Ada ruang buat sawah. Ada embel/rawa. Ada sungai. Sumur gali. Ada kebon. Ada situ atau dondang atau embung.

Coba perhatikan struktur ruang di sejumlah Kampung. Pasti ada ruang yang diperuntukan pemukiman. Biasanya agak tinggi. Tanah padat. Tetumbuhan banyak pohon keras.

Lalu ada ruang yang diperuntukan untuk sawah. Model ketahanan pangan. Antisipasi bencana krisis pangan. Biasanya nanti dideposit di Lumbung Padi.

 Sawah di musim hujan. Berfungsi sebagai lahan resapan. Yang menampung air hujan Terserap ke bawah tanah. Jadi cadangan air.

Keragaman hayati (bio diversity) tumbuh dengan harmoni. Air Hujan turun. Ditam pung di bumi. Tanah gersang berubah subur. Kering jadi basah. Bila musim kemarau bisa menjadi cadangan air.


Di sebelah sawah biasanya ada kalenan. Sungai kecil. Mengalirkan air ke sekujur wilayah persawahan. Sungai biasanyanyambung dengan pemukiman, persawahan dan danau.

Selain pemukiman dan sawah. Ada juga ruang dengan komposisi yang bisa berubah, Bisa lebih banyak air kalau musim hujan, Bisa banyak tanahnya kalau musim kemarau. Ini disebut embel, Mungkin karena kalau jalan seperti jalan diatas karpet Embel embel.

Ada yang menyebutnya ini Rawa. Makanya banyak tempat yang pake nama Rawa. Rawa binong, Rawa panjang, Rawa Lele, Rawa Bacang dan lain-lain.

 Rawa atau embel berbeda dengan danau. Atau situ. Atau Dondang. Ada yang menyebutnya Embung  di masing-masing tempat dengan penyebutan masing-masing. Situ Abidin. Cibereum. Area ini full air.

Sumur Gali, Model sedot air yang dilakukan dengan cara menggali lubang. Diameter 1 meter atau lebih. Dengan kedalaman bervariasi di sejumlah tempat. Di Kampung Piket, tempat saya tinggal, Hanya 3-12 meter. Di tempat lain lebih dalam lagi. Sumur Gali adalah model biopori tradisional. Menghubungkan atas permukaan dengan bawah tanah. Cadangan air dalam bentuk yang lebih sederhana.

 Dulu alat untuk ambil airnya menggunakan bandul. Lalu, kerekan. Sekarang ada yang menggunakan mesin penyedot air. Hari ini banyak yang meninggalkan sumur gali. Beralih ke sumur pantek, berbeda dengan sumur gali yang membuat lubang besar. Sumur pantek lubangnya hanya sebatas paralon masuk. Buat nyedot. Hilanglah kesempatan air berjumpa tanah di perut bumi.

 

Ketiga, Mitos atau Legenda 

Banyak kalangan keliru menafsirkan mitos. Bahkan banyak yang lebay. Mengaitkan dengan keyakinan. Mengarah Musrik. Padahal Mitos dan legenda ini adalah infrasturktur Budaya sebagai lokal genius dalam ikhtiar merawat dan melestarikan lingkungan.

 Penyematan Sungai Larangan, Sungai Keramat. Utan Larangan. Daerah Angker. Sebagian kecil dari ikhtiar leluhur Orang Bekasi untuk menjaga alam dan lingkungan.

 Di sungai misalnya. Itu kan banyak sekali bebegig. Memedi. Mitos sungai. Sebut saja, Buaya Putih, Buaya Buntung, Macan Putih, Lembu, Tonggak Ronggeng, Longga-longga, Kemangmang, dan lain sebagainya.

 Semua mitos itu ditanamkan untuk mensakralkan sungai. Maka sungai pun terjaga. Gak ada yang berani buang sampah di sungai, Kesambet!

 Di wilayah Padat Karya, Desa Harapan Jaya, KecamatanMuara Gembong. Ada Sunge Larangan. Mitosnya di situ ada ular sanca gede dan panjang. Relawan Utara akrab dengan Sunge Larangan. Bila musim banjir. Sunge Larangan akan jadi jalur yang kerap dilewati untuk akses ke Padat Karya.

 Muara Gembong juga punya banyak mitos untuk jaga flora dan fauna endemik. Ada Uyut Kondor. Ada si Dengkeng. Ada si budeg, Segala mitos yang ada tak lebih dari infrastuktur budaya dalam ikhtiar konservasi alam dan lingkungan.

 Sayangnya, kini semua kearifan ekologis diatas dibabat habis Sawah-sawah dikonversi secara masif oleh pengembang hitam. Yang hanya berpikir materialistis. Tidak mengindahkan aspek ekologis Kearifan ekologis sumur gali lenyap. Berganti sumur pantek.

Kesakralan tanah punah. Kini dunia modern menganggap kehadiran tanah bak aib yang harus ditutupi dengan coran. Tak ada sejengkalpun tanah yang boleh hadir.

Sawah yang tadinya menjadi zonasi terbuka. Siapapun bisa masuk. Pas berubah jadi cluster perumahan. Dipagar tinggi. Akses terbatas hanya penghuni. AKAMSI (anak kampung situ) harus menyerahkan KTP untuk masuk.

Yang menyedihkan, terkadang pengembang ngurug zonasi sawah lebih tinggi dibanding area kampung. Akhirnya, bencana banjir tak terelakan. Sungai yang tadinya terhubung satu sama lain, kini terputus. Harus ngalah dengan site plane perumahan. Fungsi klimatologis, fungsi ekologis bahkan fungsi ekonomis sawah dibunuh sadis pengembang.

Sungai-sungai berubah menjadi knalpot Industri. Got besar limbah. Sungai alami dekonstruksi. Hilang sakralnya. Tidak ada lagi ketakutan buang apapun ke sungai. Nah, kearifan ekologis bila digali dan diaplikasi akan menjadi hal efektif untuk mitigasi (melakukan hal-hal tertentu untuk mencegah bencana).

Ditulis oleh : Komarudin Ibnu Mikam, Wakil Ketua FPRB Kab Bekasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup