Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tengah menjadi perbincangan masyarakat. Hal ini bermula ketika permasalahan harga yang tiba tiba melonjak tinggi sejak tahun lalu.
Pada pertengahan Januari 2022, Kementrian Perdagangan mengeluarkan kebijakan dengan menurunkan harga minyak goreng dan menetapkannya menjadi satu harga Rp.14.000 per liter. Namun, Sayangnya, Langkah ini sepertinya malah menimbulkan permasalahan baru.
Pasalnya, setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan mengetuk satu harga, justru malah membuat minyak goreng tidak tersedia dimana mana, sekalipun tersedia, harganya kembali melonjak tinggi.
Dilansir dari CNN Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpendapat bahwa kebijakan mengetuk harga minyak goreng merupakan hal yang sia-sia lantaran dinilai tidak efektif dan menggambarkan ketidakmampuan pemerintah dalam memahami kondisi pasar dan psikologi konsumen.
“Ironi ya, negara penghasil CPO terbesar di dunia seharusnya harga minyak gorengnya terjangkau atau bahkan seharusnya jadi yang termurah di dunia. Dalam catatan saya, kebijakan subsidi Rp3,5 triliun dengan 1,2 miliar liter itu sebuah kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti tidak efektif sampai detik ini,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam webinar Para Syndicate, Jumat (28/1).
Pernyataan tersebut nampaknya beralasan. Pasalnya, sejumlah pedagang sembako di pasar tradisional mengaku kesulitan mendapat pasokan minyak goreng dengan harga Rp14 ribu per liter.
Tak hanya pasar tradisional, pramusaji ritel modern juga mengungkapkan hal yang sama, di mana minyak goreng selalu ludes terjual setelah pembeli berbondong-bondong datang usai pengumuman harga minyak goreng murah pada Rabu (19/1) lalu. Imbasnya, ritel modern mengaku pasokan minyak goreng kosong beberapa hari terakhir.
Masalah pasokan belum usai, Kemendag justru mengeluarkan peraturan baru yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng per 1 Februari 2022. Harga eceran yang ditetapkan mulai dari Rp11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp13.500 untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp14.000 untuk minyak goreng kemasan premium.
Kebijakan tersebut dibuat Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dengan mewajibkan pemenuhan minyak goreng bagi konsumen dalam negeri (domestic market obligation/DMO) bagi ekspor minyak sawit.
Lutfi pun mendorong produsen untuk segera menyalurkan minyak goreng dan memastikan tidak terjadi kekosongan stok di tingkat pedagang dan pengecer.
Ia pun tak segan-segan akan mencabut izin usaha pengecer atau perusahaan minyak goreng yang menjual dengan harga di atas HET.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan kebijakan pemerintah dalam menetapkan minyak goreng satu harga dinilai tidak akan efektif selama tidak memperbaiki jalur distribusi yang ada.
“Kebijakan yang diambil pemerintah itu kan penetapan harga, kalau harga minyak goreng harus sekian, kebijakan penetapan harga seperti ini tidak akan bisa menyelesaikan masalah kalau permasalahan distribusi tidak diatasi,” kata Akhmad kepada CNNIndonesia.com, Rabu (2/2).
tidak heran apabila terdapat oknum distributor yang tidak mengikuti kebijakan atau peraturan yang dibuat pemerintah mengenai harga penjualan minyak goreng, sebab mereka sudah terlanjur membeli minyak goreng dengan harga pasaran. Dengan begitu, mereka enggan memasok minyak goreng dengan harga yang lebih murah.
“Misalnya, Anda distributor minyak goreng, kalau Anda sudah duluan beli minyak goreng sekian dengan harga di atas ketetapan pemerintah, tiba-tiba pemerintah minta jual harus di harga sekian. Jadi kebijakan itu kalau tidak diikuti langkah perbaikan supply tidak akan berhasil,” ucapnya.
Ia pun justru menduga sebagian pelaku pasar justru menjual minyak goreng dengan harga yang sedikit lebih tinggi dibandingkan ketetapan pemerintah di pasar gelap.
“Ada beberapa kemungkinan sebagian pelaku pasar mungkin mereka menimbun dan akhirnya tidak menjual di pasar terbuka tapi lebih jual di pasar gelap artinya menjual secara diam-diam di luar tokonya dengan harga yang tinggi,” katanya.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk tidak terlalu berfokus dengan kebijakan populis yakni menurunkan harga minyak goreng.
“Kalau memang harganya harus naik ya jangan dipaksa turun, kemudian dibuat kebijakan populis yang malah membuat barangnya gak ada,” katanya.
Lebih lanjut, Akhmad menjelaskan pemerintah seharusnya mengkaji lebih dalam mengenai alasan dibalik kelangkaan minyak goreng dengan harga yang murah di masyarakat.
Sumber : CNN Indonesia
Editor: Shelly Oktaviani