OPINI: Pintu Sekretariat Acta Surya yang Digembok

waktu baca 7 menit
Ilustrasi FOTO @GoenntFplus
Oleh : Abdul Manan, AJI Indonesia.

terkenal.co.id – Saya memandangi foto “pintu sekretariat Acta Surya yang digembok” ini dengan perasaan remuk redam. Saya pernah mampir ke sekretariat Acta Surya mungkin empat atau lima tahun tahun lalu, tapi baru kali ini menyadari detailnya. Selain cat yang memudar tidak karuan, pintu ini tak bisa berbohong soal kerentaannya. Banyak terdapat luka gores di sana-sini, hasil akumulasi dari benturan yang tak terhitung banyaknya. Ada sejumlah luka menganga akibat gagang pintu yang diganti berkali-kali.

Saya tak ingat persis seperti apa rupa pintu sekretariat Acta Surya saat saya menjadi pemimpin redaksi pada 1997. Tapi saya ingat kondisi pintunya lebih baik. Saya juga berpikir, apakah ini pintu yang sama seperti yang pernah kami pakai 25 tahun lalu? Kondisi pintu itu lebih kurang juga mencerminkan isinya. Saat saya mampir beberapa tahun lalu, ruangannya tak berkursi. Kami duduk melantai untuk ngobrol atau berdiskusi. Latarbelakangnya lemari dengan sejumlah buku dan berkas. Ada komputer di sebelahnya.

Kondisi pintu (juga sekretariat Acta Surya) yang seperti itu jauh dari impian ideal untuk sebuah kampus yang jurusan jurnalistik menjadi program studi utama. Saya membayangkan (mungkin tepatnya memimpikan) kampus yang dulu pernah dikenal sebagai kampus wartawan ini akan memberi yang lebih layak kepada UKM yg bergerak di bidang penerbitan. Karena kita tahu bahwa untuk melahirkan wartawan yang baik tak cukup hanya dengan sekian SKS pelajaran reporting, editing, kode etik dll. Pengalaman melalui praktik langsung di persma memiliki kontribusi penting untuk membuatnya lebih siap saat bekerja di media.

Kondisi sekretariat seperti itu juga bisa menjadi representasi dari policy yang kurang berpihak, atau kurang perhatian, dari kampus yang dulunya bernama Akademi Wartawan Surabaya ini dalam melihat peran persma (dan UKM lain yang berhubungan dengan jurnalisme seperti himpunan mahasiswa penggemar Fotografi, broadcasting dll). Pertanyaan atas keberpihakan terhadap persma mungkin kurang relevan kalau kampus ini namanya Akademi Militer Surabaya. Jika kampus melihat peran persma penting, mgkin tidak akan pernah ada foto pintu sekretariat yang tua renta (dan fasilitas seadanya) seperti itu.

script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-7087156125112803" crossorigin="anonymous">

Pertanyaan soal keberpihakan dan perhatian soal persma ini makin menguat setelah muncul kasus terbaru ini. Ketua Stikosa-AWS marah kepada dua kru Acta Surya yang mewawancarai dia soal kebijakan pembayaran Kartu Rencana Studi (KRS). Buntut kasus itu, nilai semua mata kuliah keduanya diturunkan jadi E. Acta Surya diminta tidak beraktifitas dan sekretariatnya digembok (beberapa hari kemudian baru dibuka lagi). Kampus juga meminta agar akses website Acta Surya diserahkan ke kampus.

Ini bukan kasus pertama di mana ketua Stikosa marah kepada kru Acta Surya. Meski kasus yang menjadi pemicunya berbeda dengan sebelumnya, tapi benang merah yang bisa ditarik dari keduanya adalah pada soal ini: para petinggi ini tidak senang kalau persma menulis informasi yang dianggap menunjukkan “sisi yang kurang atau tidak baik” tentang kampus. Mereka menilai berita semacam itu akan merugikan nama baik kampus. Penguasa tertinggi di kampus ini menggunakan kuasa yang dimilikinya dalam menunjukkan kemarahannya itu.

Tentu saja ini bukan kasus unik di mana rektor atau ketua dengan mudah memakai pendekatan tangan besi terhadap mahasiswa yang dianggap merugikan kampus. Alasan ini pula yang dipakai rektor Universitas Sumatera Utara saat membekukan kepengurusan persma Suara USU dan rektor IAIN Ambon saat membekukan LPM Lintas. Dalam kasus yang menimpa Acta Surya (juga Suara USU dan LPM Lintas), klaim soal merugikan nama baik kampus itu patut dipertanyakan. Apakah menulis berita yang mempertanyakan kebijakan kampus (soal kebijakan KRS) itu patut dianggap merugikan?

Aapa yang dilakukan Acta Surya, Suara USU dan LPM Lintas itu sama seperti pers umum saat menulis kasus korupsi di pemerintahan. Apakah itu bisa dianggap merugikan pemerintah? Sudah pasti itu merugikan pemerintah karena merusak nama baiknya. Tugas pers menulis fakta, bukan untuk membuat pemerintah senang. Dengan berita seperti itu, publik diuntungkan. Mereka jadi tahu ada praktik buruk yang terjadi sehingga bisa menuntut pemerintah bertindak dan melakukan perbaikan. Pemerintah yang baik akan melihat berita seperti itu sebagai cermin untuk mengoreksi dan berbenah. Pemerintah yang buruk justru sebaliknya. Bukannya mengoreksi diri, ia malah menggunakan kuasanya untuk menghancurkan cermin itu, atau membungkam yang mengabarkannya (kill the messenger).

Yang mungkin jadi pertanyaan, apa yang membuat seorang ketua atau rektor marah dan menggunakan kuasanya terhadap persma dengan memakai dalih “demi nama baik kampus”? Bisa jadi dia terseret oleh sikap emosi sesaat sehingga melakukan tindakan tidak bijak. Tapi mungkin saja dia sengaja melakukan tindakan keras itu untuk melindungi tindakan-tindakan lain berikutnya. Jika saat ini dia bertindak keras terhadap persma, maka dia berpikir itu akan membuat persma tak akan membuat berita serupa di masa mendatang. Artinya, itu akan membuatnya aman dari kritik saat membuat kebijakan salah lainnya di kemudian hari.

Psikologi menggertak atau memberi efek jera seperti ini merupakan motif lazim yang dipakai orang untuk menekan atau membungkam media dan jurnalis. Seseorang yang melakukan kekerasan terhadap wartawan (misalnya, polisi saat memukul wartawan ketika meliput demonstrasi menolak revisi UU KPK pada September 2019), pejabat atau pengusaha mempidanakan wartawan karena pemberitaannya, itu umumnya untuk memberikan efek jera (chilling effect). Harapannya adalah agar wartawan atau media tersebut takut dan tak akan menulis hal buruk atau merugikan lagi tentang pemerintah, pejabat atau pengusaha itu.

Atmosfir seperti inilah yang menjadikan kasus Acta Surya, LMP Suara Universitas Sumatera Utara dan LPM Lintas itu menjadi preseden berbahaya jika tak dipersoalkan. Begitu itu dibiarkan, tindakan represif serupa akan terus berulang. Jika persma-nya bertekuk lutut, dia tidak akan berani lagi membuat berita, mengangkat fakta, karena takut membuat rektor atau ketua marah. Setelah itu mungkin tidak akan ada lagi berita yang nadanya mempertanyakan kebijakan keuangan atau perkuliahan, menyoal fasilitas kampus yang kurang, WC tidak bersih, dosen malas mengajar dan sebagainya. Sebab, semua itu bisa membuat petinggi kampus tidak senang.

Tentu pertanyaannya, apa dampaknya bagi kampus dan mahasiswa jika persma kemudian bungkam karena takut? Sebenarnya ada BEM yang bisa menjadi corong aspirasi mahasiswa. Tapi, dalam banyak kasus, BEM tak banyak bersuara dalam isu-isu seperti ini, kecuali mgkin kasusnya sangat besar. Peran BEM di kampus sepertinya mengalami kemunduran serius dan ini sudah terjadi sejak lama. Mungkin akarnya bisa dilacak ke kondisi tahun 1970. Pemerintah meredam kampus dengan kebijakan NKK/BKK setelah ada gerakan Dewan Mahasiswa ITB tahun 1978 yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.

Setelah peritiwa tahun 1978 itu, Dewan Mahasiswa dibubarkan, diganti (kalau tidak salah ingat dengan) Senat Mahasiswa. NKK/BKK memangkas organisasi mahasiswa sebagai sebuah “gerakan politik”. Mahasiswa juga diberi kesibukan kuliah sehingga memiliki waktu sedikit untuk berorganisasi. Setelah era NKK/BKK itu, gerakan mahasiswa banyak muncul melalui kelompok studi pada tahun 1980-an dan lebih banyak di luar kampus pada awal 1990-an. Mungkin itu sebabnya kelompok mahasiwa yang banyak berperan dalam reformasi 1998 berasal dari organisasi ekstra dibanding intra.

Setelah reformasi, organisasi intra kampus diubah namanya menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa. Namun power organisasi mahasiswa intra tak sekuat Dewan Mahasiswa di tahun 1970-an. Dan memang tidak apple to apple membandingkannya karena kondisi sosial politiknya yang memang berbeda. Setelah era Dewan Mahasiswa, peran Sema atau BEM kemudian sangat ditentukan oleh manajerial dan juga keberanian pemimpinnya (atau kebaikan hati petinggi kampus?). Kalau tak punya keberanian lebih, dia akan lebih banyak jadi “anak baik” dan sulit diharapkan menjadi pembela mahasiwa.

Dengan iklim seperti itulah penting menjaga persma tetap berdiri dan tidak mudah tunduk kepada petinggi kampus. Interest petinggi kampus kadang berbeda dengan mahasiswa. Dalam hidup bernegara, kepentingan pemerintah dan rakyat seringkali juga tidak sama. Saya senang bahwa kru Acta Surya tak menyerah dengan intimidasi dari petinggi Stikosa. Perlawanan ini semoga membuat para petinggi itu makin menyadari bahwa kampus seharusnya memberi ruang lebih luas kepada mahasiswanya untuk berekpresi, berkegiatan dan mengeksplorasi bakatnya dan petingginya perlu lebih toleran dan berbesar hati terhadap kritik —serta berita buruk.

Mahasiswa yang memilih kuliah di Stikosa tentu ingin (salah satunya) menjadi tenaga profesional (termasuk wartawan) di media. Tentu pertanyaannya, wartawan macam apa yang diharapkan bisa dilahirkan jika semasa mahasiwa tak bisa mengembangkan sikap kritis (dan mengasah skillnya) akibat kerap mendapat intimidasi? Apakah kampus berpikir bahwa intimidasi seperti ini justru membuat mahasiswa lebih kreatif menyiasati keadaan karena tahu bahwa dunia kerja tak seindah di brosur atau sinetron? Mungkin saja. Entahlah… Yang pasti, kita perlu terus mengingatkan petinggi kampus bahwa mereka memimpin perguruan tinggi, bukan taman kanan-kanak.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Advertisement
Advertisement
%d