Mengapa Negara Korea Selatan Bisa ‘Menghilang’ di Masa Depan?
Korea Selatan, yang dahulu dikenal sebagai contoh pertumbuhan ekonomi yang pesat dan modernisasi, kini menghadapi krisis kesuburan. Angka kelahiran di negara ini telah merosot ke tingkat yang sangat rendah.
Jika tren ini berlanjut, populasi Korea Selatan dapat menyusut hingga sepertiga dari jumlah saat ini pada akhir abad ini.
Lantas, apa yang menyebabkan tren ini?
Laporan dari Economic Times yang dikutip pada Minggu (1/12/2024) mengungkapkan bahwa penyebabnya jauh lebih kompleks, melibatkan tekanan sosial-ekonomi serta ketegangan gender yang telah ada selama bertahun-tahun.
Sejarah Penurunan Angka Kelahiran di Korea Selatan
Penurunan angka kesuburan di Korea Selatan dimulai dengan kebijakan keluarga berencana. Pada tahun 1960-an, pemerintah mengambil langkah untuk mengurangi angka kelahiran karena khawatir pertumbuhan populasi akan melebihi pembangunan ekonomi.
Saat itu, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya 20% dari rata-rata global, dan angka kesuburan mencapai angka yang mencengangkan, yaitu 6 anak per wanita. Pada tahun 1982, ketika ekonomi mulai berkembang pesat, angka kelahiran turun menjadi 2,4 – masih di atas tingkat penggantian sebesar 2,1 tetapi menuju arah yang benar.
Namun, pada tahun 1983, angka kelahiran menurun ke tingkat penggantian, dan sejak saat itu, angka tersebut terus mengalami penurunan yang tajam.
Penurunan yang awalnya terkontrol kini telah menjadi krisis, dengan proyeksi menunjukkan populasi Korea Selatan dapat menyusut dari 52 juta menjadi hanya 17 juta pada akhir abad ini.
Dalam skenario terburuk, beberapa perkiraan menyebutkan bahwa negara ini dapat kehilangan hingga 70% dari populasinya, menyisakan hanya 14 juta orang.
Situasi ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan menciptakan tantangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akar Masalah Penurunan Angka Kelahiran
Akar dari permasalahan ini terletak pada lanskap sosial dan budaya di Korea Selatan. Banyak perempuan, terutama di daerah perkotaan, lebih memilih untuk fokus pada karier ketimbang membangun keluarga.
Lebih dari setengah responden dalam survei pemerintah tahun 2023 menyebutkan “beban mengasuh anak” sebagai hambatan terbesar bagi perempuan untuk bekerja.
Meningkatnya rumah tangga dengan pendapatan ganda dan akses yang lebih baik terhadap pendidikan telah memberikan perempuan kekuatan untuk menunda atau bahkan tidak menikah dan memiliki anak.
Selain itu, pernikahan tidak lagi dianggap sebagai syarat untuk memiliki anak. Selama dekade terakhir, persentase orang yang menerima anak di luar nikah meningkat dari 22% menjadi 35%, meskipun hanya 2,5% anak yang lahir di luar nikah di Korea Selatan.
Bagi mereka yang menikah, perempuan menuntut lebih banyak kesetaraan dalam tanggung jawab rumah tangga. Kesenjangan gender yang mencolok masih ada, dengan 92% perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga pada hari kerja dibandingkan dengan hanya 61% laki-laki.
Kesenjangan ini menyebabkan kekecewaan yang luas terhadap peran pernikahan tradisional. Survei tahun 2024 menunjukkan bahwa sepertiga perempuan di Korea Selatan tidak ingin menikah, dengan 93% menyebutkan beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak sebagai alasan utama.
Meskipun pemerintah telah berusaha untuk mengatasi penurunan angka kelahiran, termasuk memberikan insentif keuangan dan inisiatif lainnya, langkah-langkah ini belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Perjuangan Kesetaraan Gender
Kesenjangan gender di Korea Selatan mungkin menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap krisis kesuburan.
Sementara perempuan semakin mencari kemitraan yang setara, iklim politik di negara tersebut mengalami peningkatan sentimen anti-feminis, terutama di kalangan laki-laki muda.
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, yang terpilih pada tahun 2022 dengan menarik perhatian pemilih laki-laki, telah menyerukan penghapusan kuota gender dan bahkan menyatakan bahwa feminisme adalah penyebab utama memburuknya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini memicu pertikaian politik dan budaya yang sengit, dengan sikap presiden terhadap kesetaraan gender mendapat kritik dari aktivis hak perempuan dan semakin memecah belah masyarakat.
Korea Selatan berada di peringkat terendah di OECD dalam hal kesetaraan gender, berada di peringkat ke-94 secara global. Negara ini tertinggal dalam aspek-aspek penting seperti partisipasi ekonomi (peringkat ke-112), pendidikan (peringkat ke-100)
Sumber: lambeturah.co.id