Film Pendiri HMI ‘Demi Waktu’ Tak Kunjung Tayang

Foto/dok: sindonews.com

Oleh : Muhammad Shofa As-Syadzili

Kader dan alumni HMI di seluruh Indonesia mungkin sudah pernah mendengar kabar tentang film Demi Waktu, sebuah film yang mencoba mengangkat ke layar kaca sosok inisiator dan penggagas berdirinya HMI, Lafran Pane. Kabar akan difilmkannya putra dari Sutan Pangurabaan Pane ini diutarakan saat launching buku Merdeka Sejak Hati karya A.Fuadi di Perpustakaan Nasional, 28 Juni 2019.

“Insya Allah penayangannya bulan Maret 2020,”demikian kata seorang senior yang hadir dalam perhelatan launching buku tersebut saat diwawancara awak media. Sebagai orang yang pernah berhimpun di HMI, tentu penulis berharap bisa menyaksikan film tersebut bisa diputar dan ditayangkan di seluruh bioskop-bioskop di tanah air. Mungkin tak hanya penulis saja yang menunggu tayangnya film itu, melainkan seluruh kader dan alumni HMI.

Bayangkan, pendiri organisasi kemahasiswaan tertua di Indonesia yang berdiri tahun 1947 di mana kadernya ada di pelosok-pelosok nusantara dan alumninya tersebar di berbagai bidang profesi, sepak terjang dan perjuangannya diangkat di layar kaca! Tak bisa dibayangkan bagaimana tingginya animo kader, alumni, simpatisan HMI yang berjumlah jutaan orang itu. Itu yang ada di pikiran penulis saaat pertama kali mendengar kabar akan difilmkannya Lafran Pane.

Sayangnya, hingga kini saat waktu sudah berada di hari ke-26 dari bulan Mei tahun 2021, film itu tak kunjung-kunjung tayang. Makin kaget saat produser film Demi Waktu tersebut, Kang Deden, mengeluarkan statement di media massa bahwa produksi film tersebut macet dikarenakan kendala dana. Astaghfirullah!

Penulis tak habis pikir, bagaimana mungkin organisasi sebesar HMI yang alumninya tersebar di berbagai profesi, dari Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, eks menteri dan mantan Wapres hingga aktivis sosial sekalipun tidak bisa menyelesaikan secara tuntas film Demi Waktu yang produksinya sebenarnya sudah selesai.

Saya pikir alumni HMI memahami betul betapa kekuatan audio visual yang ditampilkan lewat film itu sangat luar biasa. Dari sana nantinya nilai-nilai kepahlawanan, perjuangan, dan kesederhanaan dari Lafran Pane dapat menginspirasi jutaan anak bangsa ini. Tak hanya itu saja. Nama “HMI”, organisasi kemahasiswaan yang diinisiasi oleh Lafran Pane, sedikit banyak pasti akan terkerek naik dan dikenal oleh generasi muda bangsa ini.

Sebenarnya tak hanya Demi Waktu film yang mulanya diangkat dari buku. Ada banyak film yang mulanya berasal dari buku atau istilahnya novel yang difilmkan. Pembaca mungkin sudah pernah menonton film ‘Gie’ bukan? Film ini tayang pada 2005 yang merupakan tafsiran atas diari Soe Hok Gie yang berjudul Catatan Harian Seorang Demonstran. Film ini, sebagaimana penuturan Muhidin M Dahlan dalam Para Penggila Buku : Seratus Catatan di Balik Buku, menafsir potongan-potongan fragmen dunia Gie sejak 17 Desember 1942 hingga 16 Desember 1969.

Dari film Gie itu kita juga menyaksikan sisi-sisi lain adik dari Arief Budiman itu. Seorang penulis catatan harian yang tekun dan kesepian, pembaca buku yang rakus, penonton film, pencinta alam, dan aktivis idealis yang terjebak di tengah-tengah pragmatisme politik masa itu. Meski demikian, Gie tetap lurus berpegang pada prinsip idealismenya. Ia sendiri. Tanpa massa. Tanpa pasukan. Kawannya hanya mesin tik, buku-buku dan nalar yang bersih.

Sosok Gie yang digambarkan dalam film itu sedikit banyak menginspirasi kalangan aktivis mahasiswa Indonesia saat film itu sudah diputar di bioskop-bioskop. Di mana- mana bertebaran kutipan yang diambil dari film dan bukunya Gie. Di kaos, tas, media sosial, dan pernak-pernik lainnya. Gie kemudian menjadi role model aktivis mahasiswa.

Selain Gie, ada pula film lain yang itu diambil dari kisah yang tertulis di dalam buku. Laskar Pelangi. Ya! Itulah film yang diambil dari novel yang ditulis oleh Andre Hirata. Gegara film itu, Pulau Belitung, yang konon katanya pulau tertua di dunia dan yang sebelumnya tidak dilirik dan dihiraukan oleh para wisatawan, setelah mereka membaca buku dan menonton film Laskar Pelangi itu, tiba-tiba menjadi impian banyak pelancong. Mereka ingin menyaksikan dari dekat keindahan pasir putih dan keriangan riak ombak yang digambarkan lewat buku dan film Laskar Pelangi. Masih kurang bukti betapa film itu punya pengaruh yang besar dalam merekonstruksi pola pikir masyarakat?

Lewat tulisan ini penulis juga menyorongkan dua film yang diambil dari buku. Pertama, Fahrenheit 451. Ini film yang sangat bagus mengisahkan tentang pembakaran buku di masa Jerman masih berada di bawah kekuasaan fasis NAZI. Film ini diambil dari novel berjudul sama yang ditulis oleh Ray Bradbury.

Film ini berkisah tentang tugas dari pasukan 451 yang memburu siapapun warga Jerman yang ketahuan membaca dan menyimpan buku di dalam rumahnya. Anda tentu tidak bisa membayangkan bila membaca buku adalah sesuatu yang dilarang. Dianggap berbahaya. Saat gelap malam pasukan 451 ini bergerak meringkus warga yang kedapatan membaca buku kemudian membakarnya sekaligus. Motto pasukan ini sangat mengerikan.

“Kami membakar mereka hingga menjadi abu. Kemudian kami membakar abunya”. Gila bukan? Fahrenheit 451 ini memang film yang menggambarkan bagaimana upaya pembakaran buku sebelas dua belas dengan penumpulan nalar masyarakat. Dan angka 451 adalah titik suhu yang digunakan Hitler untuk membakar buku-buku Yahudi.

Kedua, film A Man Called Ahok. Ya! Ini film yang mengisahkan tentang masa kecil Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Film ini juga bermula dari novel dengan judul yang sama dan ditulis oleh Rudi Valinka. Saat film ini digeber di bioskop-bioskop di tanah air, film yang dibintangi oleh Daniel Mananta ini berhasil meraup 1.465.145 penonton. Sebuah angka yang luar biasa bagi film baru di mana sosok yang diangkatnya masih hidup. Film A Man Called Ahok ini bahkan masuk nominasi film biopic yang disukai oleh penonton selain film Ainun & Habibie, Sang Pencerah, Soegija, Sang Kyai, Kartini, Soekarno, Guru Bangsa : Tjokroaminoto.

Dengan jumlah anggota HMI yang tersebar di seluruh Indonesia, serta dengan jumlah alumninya yang bejibun, angka 1 juta penonton penulis pikir akan terlewati dengan mudah. Bahkan bisa lebih malah. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar film Demi Waktu itu bisa segera dinikmati dan ditonton oleh penikmat film tanah air? Jika hanya gara-gara persoalan dana lalu film ini tak jadi diputar, kondisi demikian bisa diibaratkan seperti kelaparan di lumbung padi. Ironis sekali!!.

Sumber : historiahmi.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup