Menurun! Keterwakilan Perempuan Sulit Penuhi 30% Keterpilihan di Parlemen
Disusun oleh: Choris Satun Nikmah (chorissatunnikmah@gmail.com)
Di Asean, Indonesia menempati peringkat keenam negara dengan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Posisi ini jauh di bawah peringkat Timor Leste, Singapura, Filipina, Laos, dan Vietnam. Timor Leste menempati peringkat pertama dengan persentase parlemen perempuan mencapai 38,5%. Sementara Indonesia berada di peringkat keenam dengan angka 20,8%. Angka ini diprediksi akan menurun dalam pemilu 2024. Kehadiran perempuan di parlemen tentu penting sebagai bentuk representasi dan advokasi kebijakan melalui regulasi yang akan berdampak pada perempuan.
Indonesia menerapkan kebijakan Afirmative action terhadap perempuan sebagai pembangunan gender equity untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di bidang politik. Kebijakan tersebut mulai diterapkan ketika pengesahaan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang memulai klausa kuota affirmative action 30% bagi perempuan dalam pencalonan anggota dewan. Selanjutnya pada UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD tindakan afirmatif bagi perempuan dilengkapi dengan sistem zipper. Ini merupakan sistem penomor urutan calon legislatif dimana dalam selang 3 caleg laki-laki harus terdapat satu caleg perempuan. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan representasi perempuan di parlemen sehingga mampu membawa perubahan kebijakan yang lebih gender equity.
“The Politics of Presence”, Anne Phillips (1995) menjabarkan teori politik kehadiran yang menyebutkan bahwa politisi perempuan memiliki kelengkapan terbaik untuk mewakili kepentingan kaumnya. Teori ini memprediksi bahwa ada kaitan yang sangat erat antara representasi deskriptif dan representasi substantif. Dengan kata lain, bila keterwakilan secara deskriptif (jumlah perempuan di parlemen) meningkat, maka kepentingan perempuan pun akan semakin digaungkan di parlemen.
Maka dari itu, harapan besar dalam mendorong keterwakilan perempuan di dunia politik adalah untuk dapat memunculkan kebijakan-kebijakan yang berprespektif gender yang dibutuhkan perempuan.
Jejak representasi perempuan di DPR RI masih belum pernah mencapai angka 30%. Meskipun jumlah anggota DPR perempuan juga relatif meningkat dari periode ke periode. Periode 1999-2004 memiliki 8,8% anggota DPR perempuan. 11,8% perempuan terpilih pada periode 2004-2009. Sementara DPR RI periode 2009-2014 ke periode 2014-2019 mengalami penurunan persentase, yaitu 17,8% menjadi 17,32%. Angka tersebut kemudian mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada periode 2019-2014 dimana 20,8% perempuan terpilih dan menjadi bagian dari 575 anggota DPR. Melalui data tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah anggota DPR perempuan saat ini merupakan yang terbanyak setelah masa reformasi.
Keterwakilan perempuan hasil pemilu 2024 dikhawatirkan menurun dari pada sebelumnya. Berdasarkan pengamatan Perludem, dari 84 Daerah pemilihan DPR hampir semua parpol tidak memenuhi kuota kandidat 30% perempuan di setiap dapil[1]. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di Pemilu 2024 bahwa jumlah perempuan yang terpilih akan berkurang 2,9%. Ini sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245 menyebutkan syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen harus terpenuhi di setiap dapil, bukan akumulasi total secara nasional.
Berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com, memprediksi bahwa hanya akan terdapat 114 caleg perempuan yang terpilih dan melenggang ke Senayan. Artinya keterwakilan perempuan di DPR RI akan menurun dari 20,8% menjadi 19,65% dari 580 kursi DPR. CNN menyebutkan bahwa Jawa Barat memiliki caleg perempuan terpilih terbanyak, yaitu mencapai 24 perempuan dari 92 caleg terpilih. Smeentara itu, beberapa daerah, seperti Aceh, Kepulauan, Jambi, Gorontalo, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan tak ada satupun caleg perempuan yang terpilih dari daerah tersebut.
Melihat hal tersebut, perkiraan menurunnya representasi perempuan di parlemen dari 20,8% menjadi 19,65% menunjukkan bahwa Indonesia masih sulit untuk mencapai keterwakilan 30% ala Anne Philips. Saat keterwakilan tersebut 20,8% saja anggota parlemen perempuan menemukan berbagai tantangan dalam menghadirkan produk-produk legislasi yang berprespektif gender equity. Maka dari itu, kepentingan perempuan akan semakin sulit untuk disuarakan pada parlemen satu periode kedepan.
[1] https://perludem.org/2024/02/15/pemilu-2024-perludem-khawatirkan-tak-capai-kuota-keterwakilan-perempuan-minimal-30-persen/