Waduh! DPR Dinilai Tidak Efektif dalam Mewakili Rakyat pada Tahun 2022-2023
terkenal.co.id – Indonesian Parliamentary Center (IPC) mencatat banyaknya fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) perlunya di evaluasi pada tahun sidang 2022-2023.
Hal itu diantaranya fungsi legislasi, anggaran, pengawasan, dan diplomasi parlemen. Salah satunya mulai produk legislasi DPR pada tahun 2023 didominasi oleh RUU Kumulatif terbuka.
Kemudian, terdapat 18 RUU Prioritas tahun 2023 yang disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah. 15 RUU diantaranya merupakan RUU kumulatif terbuka.
“Proporsi ini tidak jauh berbeda dengan produk legislasi pada tahun sidang 2021-2022, dimana persetujuan RUU Kumulatif Terbuka menjadi UU mendominasi dengan 22 RUU, sedangkan 10 sisanya merupakan inisiatif DPR, DPD, atau Pemerintah,” demikian rilis resmi IPC yang diterima terkenalcoid pada Selasa 23 Januari 2024.
“Praktiknya, pembentukan RUU kumulatif terbuka, minim partisipasi dan dibentuk dalam waktu yang relatif singkat,” sambungnya.
Lebih lanjut, Berdasarkan 18 RUU yang telah disahkan menjadi UU, transparansi pembahasannya dinilai IPC sangat minim.
Hanya 2 RUU dari 18 RUU yang diumumkan naskah RUU dan naskah akademiknya. 1 RUU dari 18 RUU, yang diumumkan risalahnya yaitu RUU tentang Landas Kontinen (UU No. 16 Tahun 2023) 18 RUU, ini merupakan RUU prioritas tahun 2023 yang telah disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah.
“Data itu selaras dengan hasil pemantauan IPC terhadap RUU Prolegnas Prioritas 2023 yang menunjukkan bahwa transparansi dokumen pembentukan undang-undang tidak mencapai setengahnya,” ungkap rilis IPC.
Dari sejumlah RUU yang telah selesai dibentuk tersebut, menurut IPC, setidaknya ada empat yang perlu mendapatkan catatan khusus.
Pertama, UU Ciptaker, di mana pembentukannya mengabaikan teknik penyusunan undang-undang, minimnya partisipasi publik, minimnya keterbukaan, dan adanya perubahan pasca kesepakatan bersama antara DPR dan Pemerintah.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang melakukan judicial review atas UU Ciptaker, yang mengandung sejumlah kontradiksi karena mengubah makna inkonstitusional bersyarat; memerintahkan pembentukan landasan hukum baru dan perubahan atas UU yang cara, metode, dan sistematikanya tidak memiliki landasan hukum dan seharusnya dinyatakan inkonstitusional; meminta penagguhan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
“Namun perintah ini pada dasarnya kehilangan makna karena UU Ciptaker tetap berjalan dengan dukungan 49 peraturan pelaksana yang telah dibentuk sebelumnya,” jelas IPC.
Sikap DPR terhadap UU yang sebenarnya inkonstitusional ini, lanjut IPC, justru tidak tepat. DPR melakukan perubahan kedua UU PPP untuk dijadikan basis legitimasi teknik omnibus law secara surut.
Meski akhirnya pemerintah menyadari bahwa terhadap UU yang inkonstitusional, langkah yang tepat adalah melakukan pencabutan dan membentuk UU baru, namun, pemerintah justru menggunakan prosedur melalui Perppu.
Menurut IPC, ada dua persoalan yang menjadi penyebabnya, yaitu lemahnya dasar substansial untuk menerbitkan perppu, serta pemerintah dan DPR kembali mengulang kesalahan yang sama, yaitu mengabaikan partisipasi publik dan keterbukaan.
Catatan kedua, adalah UU No. 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. UU ini bermasalah sejak penyusunan dan pembahasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, yang tidak partisipatif, tidak terbuka, terburu-buru, dan lemah dalam kajian sebagaimana terlihat pada naskah akademik.
UU ini hanya dibahas dalam waktu 41 hari, jika dihitung sejak rapat pembahasan pertama (RDPU) pada 8 Desember 2021 hingga disahkan pada 18 Januari 2022.
“Karena proses yang terburu-buru ini, penyusunan konsepnya pun tidak matang di internal pemerintah. Apalagi jika disusun dengan melibatkan partisipasi publik secara memadai. Hanya 153 hari kemudian, pada 19 Juni 2023, pemerintah menyampaikan surpres RUU Perubahan UU IKN,” papar IPC.
Yang ketiga, UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Persoalan krusial pada UU ini adalah dibukanya ruang bagi TNI dan POLRI aktif untuk mendudukan jabatan ASN tertentu, sebagaimana tercantum dalam Pasal 19.
Pasal tersebut jelas bertentangan dengan UU Polri pasal 28 ayat 3 dan UU TNI Pasal 47 ayat 1. UU Polri secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Begitu pula, UU TNI yang mengatur prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Materi UU ASN yang baru ini mengingkari semangat pembatasan peran TNI dari semula militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial-politik sebagaimana ketentuan Pasal 6 UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI (UU ABRI), menjadi hanya kekuatan pertahanan negara sebagaimana ketentuan Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Secara hukum, pembatasan ini juga mengacu pada TAP MPR No 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, yang pada konsiderans huruf d menyatakan bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Yang terakhir, UU Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pada aspek transparansi, pembentukan UU tahun 2023 masih minim transparansi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Situs web DPR belum dimanfaatkan secara maksimal untuk membangun keterbukaan.