Dinkes Buka Suara Terkait Kabupaten Bekasi Raih Peringkat Keempat Kasus TBC di Jawa Barat
terkenal.co.id – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bekasi buka suara mengenai kasus Tuberkolosis atau TBC di wilayahnya.
Diketahui bahwa Kabupaten Bekasi meraih urutan keempat dengan jumlah paling banyak kasus TBC Se-Jawa Barat.
Dilansir terkenal.co.id berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, kasus TBC hingga saat ini terdapat sebanyak 10.066.
Menanggapi kondisi tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi telah lakukan berbagai upaya.
Kendati demikian, Dinkes Bekasi menyampaikan bahwa penanganan kasus TBC ini membutuhkan peran banyak pihak.
Hal tersebut disampaikan langsung melalui Subkordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Ahmad Nurfallah.
“Kita menghimpun dari berbagai komunitas stakeholder lintas sektor dalam penanganan TBC ini. Karena memang butuh peran semuanya, termasuk media,” terangnya.
Ahmad menyampaikan bahwa pihaknya selalu berkoordinasi dengan instansi terkait seperti Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Dinas Sosial, Dinas Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (DPMD), komunitas, Ikatan Dokter Indonesia, seluruh puskesmas, RSUD dan media.
Dikatakan Ahmad, bahwa pihaknya juga tururt berterima kasih kepada salah satu komunitas yang fokus dalam upaya penanganan kasus penyakit TBC.
“Termasuk kami berterima kasih kepada Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI yang fokus dan konsen dalam upaya penanganan dan penyebaran penyakit TBC ini,” ujarnya.
Sementara itu, Manager Jawa Barat Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI, Bambang Eko Budi Yanto menyampaikan bahwa beban terberat kasus TBC di Jawa Barat terdapat di beberapa daerah maupun perkotaan besar.
Adapun wilayah yang dimaksudkan Bambang tersebut terdiri atas pertama di Kabupaten Bogor, kedua di Kabupaten Bandung, ketiga Kota Bandung. Sedangkan Kabupaten Bekasi sendiri peringkat keempat.
Bambang menilai bahwa TBC di Indonesia khususnya di Kabupaten Bekasi terkait kesadaran masyarakat selama ini minim.
Kemudian untuk penanganan TBC ini sendiri bersifat sektoral yang dimana hanya terdapat di Dinas Kesehatan saja yang melakukan intervensi.
Padahal pasien-pasien TBC ini berasal dari tingkat bawah yakni di desa, RT/RW dan peran-peran sektor lain belum terlibat.
“Karena bukan soal penanganan saja, tapi bagiamana sumber-sumbernya ini dari faktor kemiskinan, karena dia huniannya tidak bagus, mata pencaharian kurang, watersanitasi tidak baik, tentu ini butuh peran sektor atau dinas lain,” ungkapnya.
Bambang menambahkan bahwa terdapat beberapa contoh kasus dimana seperti di Dinas Sosial terdapat program untuk bagaimana masyarakat miskin ini terbantu dari segi kebutuhan sehari-hari.
Tak hanya itu, sektor dinas lain juga terdapat contoh seperti program perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu) yang juga dapat mengatasi persoalan masyarakat terjangkit atau infeksi penyakit TBC ini.
“Saya berharap semua sektor minimal teredukasi terkait pemahaman TBC ini. Harus membahu bersama Dinas Kesehatan sebagai leading sektor menangani saudara-saudara kita terdampak yakni pasien TBC,” tandasnya.
Bambang menjelaskan bahwa penyebab angka TBC ini cukup banyak, dikarenakan banyaknya masyarakat yang masih malu-malu.
Tak hanya itu, bahkan sebagian masyarakat juga kerap takut jika didiagnosa telah menderita penyakit TBC.
Sehingga pada akhirnya hal tersebut dapat menyulitkan untuk melakukan deteksi terhadap pemeriksaan kontak erat penderita.
Kemudian, soal penanganan terhadap pasien penderita penyakit TBC ini Bambang menjelaskan bahwa hanya ditangani oleh satu sektoral saja yakni di Dinas Kesehatan saja yang melakukan intervensi.
“Padahal yang kita ketahui pasien-pasien ini berasal dari tingkat bawah yakni di Desa, RT/RW jadi peran-peran lain di sektor lain belum terlibat. Padahal TBC ini yang terdampak kepada saudara-saudara kita ini,” imbuhnya.(*)
Editor: Mishbahul Anam