OPINI: Waisak di Indonesia

Festival Waisak (Foto: Istimewa).

Oleh: Bagas Pujilaksono, Akademisi Universitas Gadjah Mada

Kepada Yth Presiden RI Negara Kesatuan Republik Indonesia di Jakarta. Dengan hormat.

Saya berada di pelataran Candi Pawon, sejak hari Kamis sore 1 Juni 2023 hingga Sabtu pagi 3 Juni 2023, tiga hari dua malam, dengan tujuan ikut merayakan tradisi Waisak di Indonesia.

Waisak bukan lagi hanya sebagai ibadah umat agama Buddha, namun sudah mengakar sebagai budaya bangsa Indonesia. Umat agama Buddha sudah masuk tahap lanjut, yaitu beragama secara kultural.

Saat saya di pelataran Candi Pawon, boleh dibilang nyepi, karena faktanya saya sendirian, jauh dari hiruk-pikuk duniawi, dan menjauhkan diri dari gumulan hidup yang penuh dengan kebohongan dan kemunafikan.

Di malam hari, saya sempatkan jalan-jalan di sekitar Candi Borobudur, dan candi-candi di sekitarnya. Jelas bagi saya, kompleks jadi Borobudur dahulunya didedikasikan untuk ibadah umat agama Buddha, bukan sebagai tempat pariwisata.

Waisak bukan lagi hanya sebagai ibadah umat agama Buddha, namun sudah mengakar sebagai budaya bangsa Indonesia.

Melihat kemegahan dan keindahan Candi Borobudur, tidak cukup hanya melihat fisik bangunan candi. Karena itu hanya duniawi yang orang Jawa bilang, sarwa lamis. Namun, harus utuh melihat prosesi ritual umat Agama Buddha menyatu dengan keberadaan fisik candi Borobudur dan candi-candi kecil di sekitarnya sebagai daily activity umat agama Buddha, bukan hanya Hari Waisak.

Saya ambil contoh candi Pawon. Saya punya alasan pertimbangan subjektif, mengapa saya berlama-lama berada di pelataran candi Pawon. Candi Pawon dibangun sebagai rumah bhiksu Buddha. Itu harus difungsikan kembali.

Candi Borobudur yang dibangun oleh Prabu Samaratungga di abad IX, sebagai hadiah bagi pernikahan putrinya, yaitu Dyah Ayu Pramodhawardhani dengan Rakai Pikatan. Pramodhawardhani adalah seorang Nareswari, dari dinasti Syailendra (Buddha), sedang Rakai Pikatan dari dinasti Sanjaya (Hinddhu). Peristiwa tersebut di era Mataram Kuno.

Banyak sekali cerita-cerita di Babad peristiwa pembangunan candi Borobudur, yang sangat indah untuk diungkap.

Megahnya candi Borobudur di tanah Jawa, justru bukan menjadi tempat pusat pemerintahan Kerajaan Buddha. Kerajaan Buddha terbesar di era saat itu berada di Sumatera, yaitu Sriwijaya. Sriwijaya adalah nation state pertama di Nusantara, di mana ada Universitas Buddha terbesar di dunia.

Sekali lagi candi Borobudur dan candi-candi kecil di sekitarnya adalah satu irama, yaitu sebuah prosesi peribadatan umat agama Buddha.

Saya memohon candi Borobudur dan candi-candi di sekitarnya dikembalikan ke peruntukan semula, yaitu tempat ibadah umat agama Buddha. Peninggalan-peninggalan purbakala, dibangun dimasa lalu, bukan sebagai tempat wisata, namun sebagai tempat beribadah.

Selamat merayakan Waisak bagi saudara-saudaraku umat agama Buddha.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup