Kejagung Didesak Periksa Bos Adaro, Sinarmas, hingga Astra?
Dugaan korupsi pengelolaan bahan bakar minyak solar murah kembali memanas. Setelah mantan Direktur Utama PT. Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, ditetapkan sebagai terdakwa, Kejaksaan Agung (Kejagung) kini diminta memeriksa sejumlah pengusaha besar yang diduga mengeruk keuntungan dari praktik ini.
Dalam persidangan yang digelar Kamis (9 Oktober 2025), terungkap 13 perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengeruk keuntungan dari skandal solar murah yang diduga merugikan negara hingga Rp2,5 triliun.
Hardjuno Wiwoho, pakar hukum dan pembangunan nasional, berpendapat Kejagung wajib memanggil dan memeriksa manajemen serta pemilik 13 perusahaan tersebut.
“Jika benar mereka mengeruk keuntungan, kesaksian mereka sangat penting untuk menjelaskan alur aliran dana dan kontrak bisnis,” tegas Hardjuno di Jakarta, Senin (13 Oktober 2025).
Ia menyatakan bahwa tanpa kehadiran pihak-pihak korporat yang disebutkan dalam dakwaan, proses pembuktian yang tuntas terkait hubungan antara kejahatan dan keuntungan ekonomi akan sulit.
“Masyarakat menantikan penegakan hukum yang menyentuh semua lapisan, bukan hanya pejabat negara, tetapi juga pelaku usaha yang menikmati hasilnya,” lanjutnya.
Pengusaha Besar Juga Terlibat
Dalam dakwaan yang dibacakan di persidangan, beberapa perusahaan besar milik pengusaha papan atas Indonesia didakwa mengambil untung dari pembelian solar di bawah harga wajar.
Beberapa nama yang muncul antara lain:
Garibaldi “Boy” Thohir, pemilik Grup Adaro, diduga meraup total keuntungan sekitar Rp 235 miliar melalui PT Adaro Indonesia dan PT Maritim Barito Perkasa.
Franky Widjaja, generasi kedua Grup Sinarmas, diduga meraup sekitar Rp 481 miliar melalui PT Berau Coal dan PT Arara Abadi, di bawah Asia Pulp & Paper (APP).
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk yang mayoritas sahamnya dimiliki Heidelberg Materials AG meraup laba Rp 42,5 miliar.
PT Pamapersada Nusantara (PAMA), anak usaha Grup Astra, tercatat sebagai penerima manfaat terbesar dengan keuntungan Rp 958 miliar.
Selain itu, ada:
PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) – Rp 264 miliar
PT Merah Putih Petroleum – Rp 256 miliar
PT Vale Indonesia Tbk – Rp 62 miliar
PT Ganda Alam Makmur – Rp 127 miliar
PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk – Rp 16,7 miliar
PT Indo Tambangraya Megah (ITM) Tbk dan lima anak perusahaannya – Rp 85 miliar
PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) – Rp 14 miliar
Sinyal Serius untuk Membongkar Mafia Minyak
Hardjuno mengingatkan, skandal solar murah ini tidak terjadi sendirian. Kasus ini berakar kuat pada praktik “mafia minyak” yang telah mengendalikan harga dan distribusi bahan bakar secara tidak transparan selama bertahun-tahun.
Penetapan Riza Chalid sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada Juli 2025 disebut-sebut sebagai sinyal kuat bahwa negara serius membongkar jaringan bagi hasil energi yang merugikan negara dalam skala besar.
“Kejaksaan Agung perlu membuktikan bahwa hukum benar-benar berpihak ke atas, tidak hanya kepada pejabat atau operator, tetapi juga kepada investor besar yang menikmati keuntungan,” pungkas Hardjuno.




