Gelombang protes akibat kenaikan gila-gilaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) kini meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Dari Pati hingga Jombang, dari Bone hingga Semarang warga kompak menuntut keadilan.
Di Pati, Jawa Tengah, Bupati Sudewo memang telah membatalkan kenaikan PBB hingga 250 persen. Namun, kemarahan warga tak mereda. “Kami sudah terlanjur tidak percaya,” kata salah satu peserta aksi, menyinggung kebijakan-kebijakan sebelumnya yang dianggap memberatkan rakyat.
Di Bone, Sulawesi Selatan, mahasiswa memimpin aksi menolak kenaikan PBB-P2 yang mencapai 300 persen. Sementara di Jombang, Jawa Timur, warga dikejutkan lonjakan hingga 1.202 persen angka yang membuat ribuan orang mengajukan keberatan resmi. Semarang pun tidak luput: beberapa warga mengaku tagihan pajaknya naik 441 persen tanpa penjelasan memadai.
Fakta di Balik Lonjakan: Penyesuaian atau Permainan?
Pemerintah daerah berdalih kenaikan ini terjadi karena penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) yang ditetapkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setelah bertahun-tahun tidak diperbarui. Nilai tanah yang melonjak drastis dianggap mempengaruhi tarif PBB.
Namun, hasil penelusuran dari sejumlah sumber menyebutkan bahwa:
- Tidak semua wilayah mengalami kenaikan harga tanah yang sebanding dengan lonjakan PBB.
- Beberapa daerah menaikkan tarif secara “serentak” tanpa sosialisasi, memicu dugaan adanya target pemasukan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang dipaksakan.
- Di beberapa kasus, pengembang properti dan investor justru diuntungkan, sementara masyarakat kecil terhimpit beban pajak.
Warga Curiga Ada Kepentingan Tertentu
Sejumlah aktivis menduga kenaikan PBB yang ekstrem bisa menjadi cara “halus” mendorong masyarakat menjual tanah atau propertinya di kawasan strategis. “Kalau pajaknya tidak sanggup dibayar, mau tak mau tanah itu dilepas,” ujar seorang pegiat sosial di Jombang.
Pemerintah Diminta Transparan
Gelombang penolakan membuat pemerintah daerah membuka opsi peninjauan ulang dan keberatan. Meski begitu, banyak pihak menilai transparansi dan sosialisasi masih minim. Lembaga swadaya masyarakat bahkan mendesak adanya audit kebijakan untuk memastikan tidak ada permainan di balik angka-angka yang fantastis ini.



