Pengangkatan Dewan Penasehat dan Staf Khusus Bupati Bekasi Tuai Polemik?
Belum lama ini Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang telah mengangkat dewan penasehat pribadi dan staf khusus yang berdasarkan Nomor 100.3.3.2/KEP.261-UM/2025. Hal ini pun memicu polemik di tengah kekosongan delapan jabatan kepala dinas strategis. Penunjukan ini dinilai tidak melalui mekanisme birokrasi yang sah, melainkan berdasarkan kedekatan politik usai Pilkada 2024 lalu.
Enam penasihat tersebut tercantum dalam dokumen internal yang tersebar yakni: Rieke Diah Pitaloka (Ketua Dewan Penasehat), Eko Brahmantyo (Penasehat Komunikasi Politik), Dewi Nandini Aryawan (Pemerintahan dan Kesejahteraan), Indra Purwaka (Ekonomi dan Pembangunan), Asep Maulana Idris (Sosial dan Keagamaan) dan Rahman Arip (Hukum). Mereka disebut bukan berasal dari kalangan ASN, melainkan dari relawan dan tim sukses.
Salah satu Aktivis Kebijakan Publik Bekasi Abdul Muhaimin menilai, langkah ini lebih mencerminkan penguatan lingkar kekuasaan ketimbang reformasi birokrasi. “Ini bukan penguatan birokrasi, tapi pembentukan kekuasaan di balik layar,” tegasnya.
Lebih lanjut, pihaknya mendesak DPRD Kabupaten Bekasi segera mengambil sikap. Jika pembiayaan enam penasehat tersebut bersumber dari APBD tanpa dasar hukum yang sah, maka DPRD wajib memeriksa potensi pelanggaran anggaran. “Bekasi tidak butuh penasehat bayangan. Bekasi butuh transparansi dan birokrasi yang profesional,” kata Muhaimin.
Terpisah, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi, Ridwan Arifin, dirinya mengaku belum mengetahui secara pasti apakah pengangkatan dewan penasehat dan staf khusus itu melanggar aturan. Menurutnya, selama tidak menggunakan APBD, maka tidak menjadi masalah.
“Kan nggak melanggar juga, karena prinsipnya itu nggak menggunakan APBD, jadi kita nggak bisa bilang itu nggak boleh. Misalkan saya sebagai Ketua Komisi I punya stafsus dan digaji pakai duit sendiri, siapa yang mau melarang. Jadi nggak melanggar atau menabrak regulasi,” ucap Iwang.
Terkait masuknya nama Anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, sebagai Ketua Dewan Penasehat Bupati Bekasi, ia belum bisa berkomentar banyak.
“Kalau menyangkut kode etik, kan saya belum membaca Tatib DPR RI. Misalkan melarang, kita akan kasih tahu bupati, tapi melarang dan tidak melarang itu, saya belum baca,” sambungnya.
Tak hanya itu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Bekasi, Nyumarno, bilang Dewan Penasehat memiliki fungsi utama memberikan saran, pendapat, atau pertimbangan yang diminta oleh Bupati dan Wakil Bupati dalam melaksanakan program pemerintahan.
“Tugasnya memberikan saran, pendapat, atau pertimbangan. Mereka bertanggung jawab untuk melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Bupati dan Wakil Bupati,” jelasnya.
“Staf khusus bertugas melakukan kajian dan analisa pelaksanaan program-program Bupati dan Wakil Bupati, disinergikan dengan visi misi serta rencana pembangunan jangka panjang dan menengah daerah,” sambung Nyumarno.
Ia menjelaskan bahwa pembentukan Dewan Penasehat dan staf khusus ini dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan program kegiatan pemerintahan secara profesional dan kredibel, berdasarkan kapasitas dan keahlian masing-masing.
“Saya tidak meragukan Ketua Dewan Penasehat, Mba Rieke. Prof Sofyan juga merupakan Dekan di IPB. Untuk staf khusus, ada yang pernah menjadi staf ahli DPR RI bidang legislasi, staf Gubernur Sultra, dan staf Wali Kota,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala BKN Prof. Zudan Arif Fakrulloh bahkan telah memperingatkan bahwa kepala daerah tidak diperkenankan lagi mengangkat staf khusus atau penasehat pribadi pasca pelantikan. Kebijakan tersebut dinilai rawan konflik kepentingan dan bisa jadi ladang balas jasa politik.
“Akan ada sanksi tegas. Jika menggunakan dana publik tanpa payung hukum, itu bisa masuk penyalahgunaan anggaran,” ujar Zudan.
Ironisnya, menurut pengakuan beberapa sumber internal, keenam penasihat ini justru sesekali sering hadir dalam sejumlah rapat strategis Pemkab dan bahkan memberi arahan kepada pejabat aktif. Kendati demikian, Fenomena ini dinilai sebagai ujian moral dan arah kepemimpinan di Kabupaten Bekasi, membangun birokrasi berdasarkan sistem atau mempertahankan loyalitas berbasis kekuasaan.
“Yang kosong jabatan dinas, tapi yang memberi instruksi justru penasehat. Ini membingungkan,” kata sumber internal lain.