Tafsir yang Membungkam: Perjuangan Perempuan Muslim di Tengah Bayang Patriarki

Ilustrasi Tokoh Perempuan Muslim.

Di tengah semangat emansipasi yang terus bergulir, perempuan Muslim masih kerap tersandung pada satu batu besar: tafsir agama yang mengekang. Bukan teks sucinya yang keliru, tetapi pembacaan yang menjauh dari ruh keadilan Islam. Selama berabad-abad, tafsir agama—terutama dalam konteks keislaman—lahir dari struktur kuasa yang maskulin. Alhasil, perempuan lebih sering diposisikan sebagai subordinat, bukan sebagai subjek otonom dalam praktik keagamaan.

Saya pernah menghadiri sebuah forum diskusi yang mengangkat isu gender dalam Islam. Saat seorang peserta menyampaikan pentingnya keterlibatan perempuan dalam ruang publik, seorang mahasiswa dengan lantang membantah. Ia menyatakan bahwa tempat perempuan adalah di rumah: mendidik anak, melayani suami, dan menerima kodrat sebagai bentuk ketaatan. Dalil agama pun dikutip sebagai penguat. Namun justru dari pengalaman seperti inilah saya menyadari: masih banyak orang membaca agama bukan dengan semangat keadilan, melainkan dengan kecenderungan membungkam.

Dalam konteks inilah, pemikiran tokoh-tokoh Muslimah kontemporer menjadi relevan. Amina Wadud dalam Qur’an and Woman (1999) menyatakan bahwa selama ini tafsir didominasi oleh laki-laki, yang menyingkirkan pengalaman perempuan dari diskursus keagamaan. Ia mendorong pembacaan ulang teks suci dengan mempertimbangkan perspektif perempuan sebagai subjek aktif.

Pemikir lain, Asma Barlas, dalam karyanya Believing Women in Islam (2002), menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak secara inheren menindas perempuan. Yang bermasalah justru cara pembacaan dan penafsiran yang dibentuk oleh tradisi patriarkal. Sementara itu, Fatima Mernissi lewat The Veil and the Male Elite (1991) membongkar bagaimana sejumlah hadits yang merugikan perempuan berasal dari konstruksi sosial tertentu pada zamannya, bukan dari pesan profetik yang murni.

Kesadaran semacam ini tidak hanya berkembang di Timur Tengah atau Barat, tapi juga mulai tumbuh subur di Indonesia. Lembaga-lembaga seperti Rahima, Fahmina, dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memainkan peran penting dalam membongkar tafsir bias gender. Melalui pendidikan tafsir yang adil dan etis, mereka menolak pendekatan legalistik semata dan mengangkat pengalaman perempuan sebagai basis otoritatif dalam menafsirkan teks suci.

Dalam dokumen hasil Musyawarah KUPI, ditegaskan bahwa keadilan gender adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip tauhid. Pandangan ini sejalan dengan QS. Ali ‘Imran:195 yang menyatakan bahwa amal laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama di hadapan Tuhan. Maka, menjadi ironi ketika konsep tauhid yang luhur justru dipelintir untuk melegitimasi hierarki gender dalam masyarakat.

Cendekiawan Muslim progresif, Ulil Abshar Abdalla, dalam berbagai tulisannya dan diskusi publik, menekankan bahwa keberpihakan terhadap perempuan bukanlah bentuk liberalisme yang bertentangan dengan Islam, melainkan keberislaman yang adil. “Selama perempuan hanya menjadi objek dalam diskursus keislaman, maka keadilan tidak akan pernah benar-benar terwujud,” ujarnya.

Kini, tantangan utama bukan lagi pada ketiadaan pengetahuan, melainkan keberanian. Keberanian untuk mengkaji ulang bacaan lama, mengintegrasikan pendidikan agama yang ramah gender, dan menciptakan ruang bagi perempuan untuk menafsir kitab suci dari pengalamannya sendiri. Pendidikan tafsir kritis mesti hadir di ruang-ruang kampus, pesantren, masjid, dan komunitas akar rumput. Dari situlah akan tumbuh kesadaran kolektif bahwa perempuan adalah makhluk merdeka yang juga berhak memahami, menafsirkan, dan menyuarakan imannya.

Simone de Beauvoir menulis, “Perempuan tidak dilahirkan, melainkan dijadikan.” Dan dalam konteks keislaman hari ini, kami—perempuan Muslim—menolak untuk terus “dijadikan” oleh tafsir yang meminggirkan. Kami membaca ulang, kami menafsir ulang, dan kami berdiri sebagai manusia yang utuh: beriman, berpikir, dan berdaya.

Penulis: Nilna Sifaana

Tutup