Pemerintah Kabupaten Bekasi Minta Pedagang Batasi Waktu Aktivitas Pasar Tumpah di SGC Cikarang
Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di kawasan pasar tumpah Sentra Grosir Cikarang (SGC) disosialisasikan oleh petugas gabungan di Kabupaten Bekasi pada Rabu (11/6/2025) malam.
Aksi sosialiasi oleh Pemerintah ini buntut akan dilakukannya penertiban menyusul keluhan masyarakat atas kemacetan yang semakin parah setiap pagi di Jalan Kapten Sumantri dan Jalan Letjen Suprapto, Cikarang Utara.
Sedikitnya 400 pedagang ditertibkan karena menggelar lapak hingga memakan badan jalan, mengganggu arus lalu lintas kendaraan yang melintasi pusat perdagangan dan perkantoran di jantung Cikarang.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bekasi, Surya Wijaya, menjelaskan bahwa penertiban ini bukan tanpa proses. Pihaknya telah melakukan sosialisasi dan pendataan terlebih dahulu terhadap para pedagang.
“Keberadaan mereka menutup sepadan jalan dan menimbulkan kemacetan parah saat jam kerja. Untuk itu, kami minta pedagang hanya berjualan mulai pukul 22.00 WIB sampai 05.00 WIB,” kata Surya Wijaya.
Menurut data Satpol PP, terdapat sekitar 270 pedagang di sisi timur Jalan Kapten Sumantri, 80 di sisi barat, dan 50 pedagang lainnya di sekitar Plaza Cikarang. Sebagian besar mereka menggelar dagangan di trotoar hingga meluber ke badan jalan.
Satpol PP menyatakan akan menindak tegas pedagang yang membandel dan tetap berjualan di jam-jam sibuk. Namun hingga kini, belum ada lokasi relokasi resmi yang disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi.
“Silakan berdagang, tapi jangan ganggu jalan umum. Kalau masih membandel, kami akan ambil langkah tegas,” kata Surya.
Pemerintah hanya memberi ruang berjualan bagi para PKL pada malam hari, dengan harapan jalan kembali steril pada pagi hari. Namun, aturan ini justru menyisakan dilema di kalangan pedagang kecil.
“Kami mau ditertibkan, tapi tempat baru belum jelas. Kalau dilarang berjualan pagi, kami harus cari makan dari mana?” keluh Diki Setyawan (29), seorang pedagang sayuran.
Diki mewakili keresahan ratusan pedagang lainnya yang kini hanya bisa mengandalkan pemasukan harian. Bagi mereka, pasar tumpah bukan sekadar tempat berdagang, tapi juga satu-satunya sumber penghidupan.
Kebijakan ini dianggap setengah hati oleh sejumlah pihak, karena tidak menyelesaikan akar masalah: tidak tersedianya ruang usaha legal yang terjangkau bagi PKL.
Penertiban PKL di SGC kembali menyoroti konflik laten antara fungsi ruang kota dan kebutuhan ekonomi masyarakat kecil. Di satu sisi, pemerintah dituntut menjaga ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Namun di sisi lain, mereka juga harus menjamin ruang ekonomi bagi warga menengah ke bawah.
“Kalau penertiban dilakukan tanpa menyiapkan lahan pengganti, sama saja memindahkan masalah,” ujar seorang pegiat urban planning lokal yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, penerapan kebijakan jam tayang bagi pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di kawasan Simpang Sentra Grosir Cikarang (SGC), diklaim sebagai solusi sementara untuk menata aktivitas perdagangan liar yang sudah berlangsung bertahun-tahun di lokasi tersebut.
Kepala Dinas Perdagangan Kabupaten Bekasi, Gatot Purnomo, mengungkapkan bahwa kebijakan ini diambil karena hingga kini belum tersedia pasar pengganti yang layak, menyusul kegagalan program revitalisasi pasar sejak 2014.
“Banyak pedagang berdagang bukan pada tempatnya karena pasar yang seharusnya menampung mereka mengalami kerusakan dan belum bisa difungsikan kembali,” ujar Gatot.
Gatot menjelaskan, upaya revitalisasi pasar pada 2014 terhambat akibat proses hukum yang masih berjalan. Pemenang lelang proyek kala itu menggugat pemerintah, sehingga pembangunan tidak bisa dilanjutkan.
Akibat ketiadaan fasilitas pasar yang layak, para pedagang akhirnya memilih berjualan di badan jalan sekitar SGC, menimbulkan kemacetan serta ketidaktertiban ruang publik.
Sebagai solusi jangka pendek, pemerintah bersama Satpol PP dan instansi terkait menerapkan pembatasan waktu berjualan, yakni mulai pukul 22.00 hingga 05.00 WIB. Di luar jam tersebut, area harus steril dari aktivitas perdagangan.
“Pemerintah memiliki kewajiban menjaga keseimbangan antara hak pengguna jalan dan hak masyarakat dalam mencari nafkah. Maka, diberikan kelonggaran agar pedagang tetap bisa berjualan malam hingga dini hari,” jelas Gatot.
Gatot juga tak menampik bahwa, lokasi yang saat ini digunakan oleh PKL bukanlah kawasan yang diperuntukkan untuk aktivitas perdagangan.
“Jalanan ini bukan zona niaga, jadi jelas tidak diperuntukkan untuk berdagang. Tapi kita juga tidak bisa gegabah dalam menertibkan. Harus ada solusi yang adil dan humanis,” ujarnya.
Untuk itu, pemerintah akan melakukan pendataan ulang terhadap para pedagang, guna memetakan siapa saja yang benar-benar terdampak akibat tidak berfungsinya pasar resmi.
Terkait rencana relokasi, Gatot mengakui bahwa sejumlah alternatif lokasi telah dikaji, namun kebanyakan ditolak oleh para pedagang dengan alasan lokasi terlalu jauh dan tidak strategis.
“Wacana relokasi sudah lama, tapi implementasinya sulit. Kita tidak bisa sembarangan memindahkan karena ada banyak aspek yang harus dikaji, termasuk status lahan apakah milik perorangan, pemerintah daerah, provinsi, atau pusat,” tandasnya.