Isu Job Fair di Cikarang Disebut-sebut Formalitas, Perhimpunan HRD Kabupaten Bekasi Buka Suara

Ribuan pencari kerja memadati area job fair Beksi Pasti Kerja expo untuk mengincar 2.517 lowongan kerja yang ditawarkan berbagai perusahaan. Antusiasme tinggi dari para peserta menyebabkan kerumunan besar dan antrean panjang.

Usai ricuh Job Fair di Cikarang, Kabupaten Bekasi, saat ini menjadi perbincangan dari sejumlah pihak, termasuk Job Fair tersebut dituding hanya Formalitas oleh oknum yang mengaku Staf HRD di media sosial.

 

Bagaimana pandangan dari dunia Industri?

Menurut Ketua Perhimpunan HRD Bekasi, Doan Herison, saat ini kondisi mayoritas perusahaan di Bekasi belum stabil. Dampak pandemi Covid-19, krisis global, hingga kebijakan ekonomi internasional, seperti yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump, turut menggerus permintaan pasar dan memperlambat ekspansi ketenagakerjaan.

“Kalau disebut hanya formalitas, ya bagaimana ya. Karena tiap perusahaan beda-beda. Di perusahaan saya misalnya, kami belum bisa menambah tenaga kerja karena job order juga sedang turun. Mempertahankan yang ada saja sudah sulit,” kata Doan Ketua Perhimpunan HRD Bekasi, Doan Herison.

“Oknum staff HRD (Komentar di media sosial) itu bukan konsumsi publik, kalo gosip diwarung kopi silahkan, jadi kalo di medsos kurang bijak, Secara umum Perusahaan tetap membuka lowongan, tapi itu untuk menggantikan pekerja kontrak yang habis. Bukan untuk penambahan besar-besaran. Biasanya, hanya pabrik baru yang melakukan itu, itupun sangat terbatas,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa sebagian besar lowongan yang dibuka bersifat substitusi, bukan ekspansi. Perusahaan lebih memilih bertahan dan efisiensi ketimbang menambah tenaga kerja baru.

Meski begitu, ada juga tudingan bahwa perusahaan dipaksa ikut serta oleh pemerintah daerah. Namun, Doan membantah adanya tekanan semacam itu.

“Tidak ada paksaan dari pemda. Tapi memang waktunya terlalu mepet, jadi perusahaan bingung. Kadang ya sudah, mereka buka lowongan kecil-kecilan untuk formalitas, siapa tahu bulan depan butuh,” ujarnya.

Meski begitu, ia menilai penting bagi pemerintah untuk memahami kondisi industri secara lebih mendalam. Menurutnya, program publik seperti Job Fair seharusnya disusun bersama forum HRD atau asosiasi industri, agar data yang dipakai sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Doan juga menyoroti pelaksanaan Job Fair secara luring tanpa manajemen massa yang baik. Menurutnya, idealnya sistem pendaftaran dilakukan secara daring, sehingga peserta yang lolos seleksi administrasi bisa diundang secara bergiliran ke lokasi wawancara.

“Sekarang sudah ada teknologi barcode, harusnya dimaksimalkan. Jadi peserta datang dengan nomor antrean, seperti di puskesmas atau layanan BPJS. Kalau dibuka begitu saja, sementara infrastrukturnya tidak memadai, ya pasti chaos,” tegasnya.

Ia menyebut bahkan penggunaan lokasi besar seperti Stadion Wibawa Mukti tidak akan menyelesaikan persoalan jika sistem pengelolaan data dan kerumunan tidak diperbaiki.

Saat ditanya soal efektivitas penyerapan tenaga kerja dari Job Fair, Doan mengaku belum ada data konkret. Ia sendiri tidak terlibat dalam program tersebut, namun mengetahui bahwa beberapa perusahaan memang serius merekrut dan bahkan mendapat penghargaan dari pemerintah.

“Ada yang benar-benar merekrut dan mendapat penghargaan, tapi skalanya belum signifikan. Masih jauh dari cukup untuk mengatasi pengangguran,” katanya.

Forum HRD Bekasi yang membawahi sekitar 350 perusahaan menyebut bahwa saat ini tidak ada perbedaan mencolok antara tenaga kerja lokal dan pendatang. Sejak 2005, pendidikan di Bekasi telah meningkat sehingga kualitas tenaga kerja lokal juga membaik.

“Mau dari Jawa, Jakarta, atau Bekasi, Gen Z itu karakternya mirip-mirip. Jadi sekarang tidak ada diskriminasi signifikan dalam penerimaan kerja,” ujarnya.

Terakhir, Doan mengingatkan pentingnya evaluasi program seperti Job Fair agar benar-benar berdampak. “Saya tidak menyalahkan siapa pun, karena semua niatnya baik. Tapi harus benar-benar objektif melihat kondisi perusahaan. Jangan sampai karena satu-dua program, pencari kerja jadi korban karena peluangnya sedikit, sementara pesertanya membludak,” pungkasnya.

Kekecewaan Peserta: Link Error, Tak Ada Wawancara

Sementara itu, kekecewaan dirasakan langsung oleh pencari kerja asal Karangbahagia, Eko Yulianto (24). Ia datang sejak pukul 07.00 WIB, meski acara baru dimulai pukul 09.00 WIB. Berdesakan dengan ribuan peserta lain, ia berhasil masuk dan mengakses informasi lowongan melalui barcode di tiap stand perusahaan.

Namun, masalah muncul saat proses pendaftaran online. “Saya foto barcode karena di lokasi tidak ada sinyal. Tapi saat sampai rumah, saya tidak bisa mengunggah CV. Selalu gagal, tulisannya ‘ditolak server’. Saya coba empat perusahaan, semua gagal,” ungkapnya.

Lebih parah, akses ke link pendaftaran ditutup pukul 16.00 WIB di hari yang sama. “Sia-sia saya datang. Tenaga, waktu, ongkos habis, tapi tidak ada hasil,” ucapnya.

Ia juga menyayangkan tidak adanya proses wawancara di lokasi seperti yang dijanjikan di pamflet acara. “Katanya ada interview di tempat, tapi nyatanya tidak ada. Hanya barcode. Terasa seperti formalitas saja,” ujarnya.

Eko menilai kegiatan ini hanya menjadi ajang pencitraan pemerintah daerah. “Perusahaan seolah-olah buka lowongan, padahal hanya meramaikan acara. Yang diterima sedikit, padahal yang datang puluhan ribu,” ungkapnya.

Sejak kontraknya berakhir pada November 2024 di sebuah pabrik elektronik, Eko sudah melamar kerja lebih dari 100 kali. Ia bahkan pernah menjadi korban calo kerja dan kehilangan uang Rp5 juta karena janji palsu akan dipanggil kerja.

“Empat bulan nggak ada kabar. Katanya langsung ditunggu-tunggu tiap bulan, tapi tidak pernah ada panggilan,” keluhnya.

Ia berharap pemerintah lebih serius menangani masalah pengangguran dan tidak hanya menggelar acara seremonial. “Sebaiknya job fair dilakukan secara online saja, jangan bikin macet dan emosi. Dan tolong berantas calo kerja,” tandasnya.

Tutup