OPINI: Membangun Jalan Kemandirian Ekonomi dan Kesejahteraan Paradigma Baru Aktivis

Arina Armin.

Di tengah kompleksitas dunia yang semakin mengglobal dan terdigitalisasi, aktivisme mahasiswa kerap terjebak dalam kekosongan arah. Hilangnya orientasi terhadap kemandirian ekonomi menjadi penyebab utama melemahnya daya dorong aktivisme dalam menghadapi persoalan struktural bangsa.

Dalam konteks ini, penting untuk menimbang ulang peran kapital—bukan semata dalam pengertian material, tetapi sebagai alat transaksional, kekuatan simbolik, dan sarana dominasi sosial.

Kapital, sebagaimana disampaikan oleh Pierre Bourdieu, tidaklah tunggal. Ia hadir dalam berbagai bentuk: ekonomi, sosial, budaya, hingga simbolik.

Namun dalam realitas masyarakat oligarkis, distribusi kapital sangat timpang.

Kekayaan dan pendidikan diwariskan dalam skema ketimpangan yang semakin tajam, menutup akses bagi banyak orang untuk naik kelas sosial.

Hal ini menempatkan sebagian besar rakyat dalam posisi subordinat yang sulit keluar dari jebakan kemiskinan struktural.

Apa kapital dalam diri kita yang bisa ditransaksikan?

Di sinilah paradigma baru aktivisme diuji. Aktivis hari ini dituntut tidak hanya memiliki kesadaran kritis, tetapi juga kapasitas untuk mengembangkan kapital personal yang mampu mentransformasikan dirinya dan lingkungannya. Aset tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga kapasitas, integritas, jaringan sosial, dan daya pikir strategis.

Kualitas hidup ditentukan oleh sejauh mana seseorang memiliki akses terhadap kapital. Jeffrey Sachs bahkan menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki akses terhadap sumber daya (kapital) lebih mungkin untuk menghindari kemiskinan dan hidup lebih panjang serta lebih sehat.

Ini sejalan dengan laporan World Bank yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki angka harapan hidup yang lebih besar.

Dalam konteks aktivisme, kemandirian bukan berarti menolak kerjasama, tetapi kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Menolak menjadi alat kekuasaan, dan memilih untuk menjadi aktor perubahan yang mandiri. Karena, seperti yang diungkapkan dalam sesi ini, “kalau miskin selalu terpinggirkan”.

Kapasitas dan loyalitas menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya menjadi modal sosial penting yang harus terus dipelihara. Kapasitas membuka akses, loyalitas menjaga keberlangsungan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, kapital berupa jaringan sosial juga menjadi aset yang tak ternilai. Maka menjaga royalti jaringan adalah kunci keberlanjutan gerakan.

Sebagai refleksi, peserta diminta untuk menuliskan *lima hal* yang bisa didapatkan dan bisa diukur dari apa yang dimiliki. Sebuah latihan sederhana yang bertujuan menumbuhkan kesadaran akan potensi diri sebagai bentuk kapital yang dapat dikembangkan secara strategis.

Paradigma baru aktivis adalah mereka yang tidak hanya lantang dalam menyuarakan ketidakadilan, tetapi juga cakap dalam merumuskan jalan keluar. Ia mandiri secara ekonomi, kuat secara intelektual, dan berdaya secara sosial. Inilah titik tolak baru dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan: dari aktivis yang berpikir taktis menuju aktor perubahan yang berpijak pada realitas.

Oleh: Arina Armin
Peserta Advance Training LK III HMI Badko Sulsel

Tutup