Wamen Stella Christie Soal Skripsi: Kita Terlalu Berfokus Kepada Prosedural
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie mengungkapkan kritik terhadap sistem skripsi di perguruan tinggi Indonesia. Ia menilai bahwa sistem ini lebih menekankan pada prosedur formal ketimbang substansi dan hasil yang dihasilkan.
Stella berpendapat bahwa fokus utama pendidikan tinggi dan penelitian seharusnya adalah pada kualitas dan dampak penelitian, bukan sekadar memenuhi persyaratan administratif.
Dalam siniar Good Talk yang dirilis oleh kanal YouTube Good News from Indonesia pada Selasa (11/03/25), ia membandingkan ketebalan skripsi mahasiswa Indonesia dengan jurnal ilmiah internasional yang lebih ringkas namun memiliki dampak yang signifikan.
“Janganlah kita terlalu berfokus kepada prosedural. Prosedural itu enggak ada gunanya. Misalnya, kalau bikin skripsi di universitas, biasanya disyaratkan harus 100 halaman. Itu prosedural, bukan ukuran dari hasilnya,” ujar Stella.
Ia memberikan contoh bahwa karya ilmiah dari tokoh-tokoh besar tidak bergantung pada panjang dokumen, melainkan pada dampak dan substansi yang dihasilkan.
“Sebagai anekdot, papernya Einstein tentang General Theory of Relativity itu cuman beberapa halaman, yang begitu mengubah dunia. Coba bayangkan kalau waktu itu Einstein belajarnya di Indonesia dan diharuskan menulis skripsi 100 halaman, tidak akan ada yang baca itu General Theory of Relativity,” tambahnya.
Stella juga menyoroti standar jurnal ilmiah internasional seperti Nature dan Science, yang justru lebih ketat dalam membatasi jumlah halaman.
“Di jurnal-jurnal yang paling top seperti Nature, Science, itu cuman boleh satu halaman kalau publikasi,” jelasnya.
Selain mengkritik sistem skripsi, Stella menekankan perlunya membangun ekosistem riset dan teknologi yang lebih efisien. Ekosistem ini mencakup pengembangan sumber daya manusia, insentif bagi peneliti, pendanaan riset, serta kolaborasi antara akademisi dan industri.
Menurutnya, kendala utama dalam penelitian di Indonesia bukan hanya birokrasi, tetapi juga kurangnya insentif bagi akademisi.
“Sementara ini kita belum mempunyai ekosistem yang optimal bagi sumber daya manusia kita, yaitu bagi para periset-periset kita di universitas untuk melakukan penelitian,” ungkap Stella.
Ia menjelaskan bahwa ekosistem riset di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk insentif yang belum tepat sasaran.
Banyak peneliti yang kompeten, tetapi terbebani oleh administrasi yang berlebihan sehingga sulit untuk fokus pada penelitian.
Oleh karena itu, ia mendorong reformasi sistem agar akademisi dapat lebih fokus pada pengembangan ilmu dan inovasi.
Dalam hal pendanaan riset, Stella menegaskan bahwa ketergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidaklah cukup. Ia menyoroti perlunya strategi untuk menarik minat industri dalam mendanai penelitian.
“Kalau kita hanya memikirkan dana dari APBN, mau sebanyak-banyaknya, setiap APBN itu pasti terbatas. Kita harus memikirkan bagaimana kita bisa melibatkan swasta, industri untuk bisa berkecimpung di dalam sini,” jelasnya.
Stella juga mencatat bahwa masih ada hambatan dalam kerja sama antara akademisi dan industri, seperti birokrasi yang rumit dan kurangnya pemetaan mitra potensial.
Oleh karena itu, Kemendiktisaintek harus berupaya menjadi penghubung antara akademisi dan industri agar riset yang dilakukan dapat terserap oleh dunia usaha.
Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa berbagai masalah seperti kemacetan, banjir, dan polusi di Jakarta dapat diselesaikan dengan pendekatan berbasis riset.
Ia menekankan pentingnya peran akademisi sebagai pemecah masalah yang menyediakan solusi berbasis sains dan teknologi bagi permasalahan yang dihadapi industri dan pemerintah sebagai pemilik masalah.
Wamen Stella juga menegaskan bahwa pengukuran keberhasilan program pendidikan dan riset harus berbasis hasil, bukan sekadar mengikuti prosedur yang ada.
Ia mengkritik pola pikir yang terlalu berorientasi pada persyaratan administratif daripada manfaat nyata.
“Setiap program yang kita jalankan harus memiliki pengukuran yang jelas. Jika pemerintah mengalokasikan dana untuk suatu program, harus ada indikator yang menunjukkan apakah program tersebut berhasil atau tidak,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa paradigma ini harus diterapkan di universitas dan perguruan tinggi. Menurutnya, kebijakan akademik harus lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman, bukan hanya mengikuti tradisi administratif yang sudah ada sejak lama.
“Syarat prosedural mungkin diperlukan di awal, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mengukur hasil. Kita harus memastikan bahwa kebijakan dan program yang dijalankan benar-benar mencapai tujuan yang ditetapkan,” pungkasnya.
Sumber: lambeturah.co.id
- Bukan
- Bumper
- Christie
- di Indonesia
- Es Krim
- Ia menekankan
- iPhone 16
- iPhone 17 Air
- Kondisi Jalan di
- Kondisi Jalan di Perbatasan
- Kritik
- Kritik Wamen Stella Christie
- Lambeturah
- Mencolok Kondisi Jalan di
- Prosedur
- Skripsi
- Stella
- Stella Christie
- Stella menegaskan
- Substansi
- terhadap
- Utamakan
- Utamakan Substansi
- viral
- Wamen
- Wamen Stella
- Wamen Stella Christie