Cantik Itu Aku
Setelah merilis serangkaian single dalam dua bulan terakhir, Melanie Subono kembali hadir dengan karya yang lebih dari sekadar lagu. “Cantik Itu Aku” menjadi pernyataan lantang tentang tubuh, identitas, dan kemerdekaan perempuan dari belenggu standar kecantikan yang selama ini dikonstruksi masyarakat dan diperkuat media sosial.
Melanie berangkat dari kegelisahan yang sudah lama ia saksikan: obsesi publik pada standar kecantikan tunggal. Dalam dunia yang semakin tersandera visual, tubuh perempuan kerap menjadi objek penilaian. Kurus, mulus, sempurna—seolah menjadi syarat sah untuk disebut cantik. Padahal, sebagaimana ditegaskannya, pencipta tidak pernah membuat manusia seragam, dan tidak ada aturan universal mengenai kecantikan.
Justru ironi itu yang ingin Melanie bongkar. Ia mengaku, bahkan dirinya yang dianggap “cantik” oleh banyak orang masih sering dihujani pertanyaan menyudutkan: “Kok nggak punya pasangan?”, “Kok begini, kok begitu?” Pola pikir masyarakat yang mengukur perempuan lewat tubuh dan statusnya menciptakan tekanan berlapis, yang sering kali tak terlihat namun nyata dirasakan.
“Cantik itu nggak ada barometernya. Cantik itu aku—mau lo kurus, gendut, bahkan sedang sakit sekalipun,” tegas Melanie. Dalam konteks sosial hari ini, pernyataan itu bukan hanya pembelaan, tetapi kritik keras terhadap budaya penghakiman yang dibungkus estetika.
Gerakan #CantikItuAku yang ia gaungkan menjadi ruang untuk mengingatkan publik agar menjaga mata, mulut, hati, dan pikiran, sekaligus berhenti memaksakan standar pribadi kepada orang lain. Melanie pun mengakui, ketika pertama kali mengucapkan frasa itu, ia sendiri masih merasakan keraguan—sebuah cermin betapa dalamnya standar sosial itu tertanam, bahkan di kepala mereka yang vokal memperjuangkannya.
Menariknya, proyek ini tidak tampil sebagai kampanye solo. Melanie menggandeng empat sahabat perempuan—Widi Vierratale, Sara Wijayanto, Pia Fellini, dan Fia Fellow—masing-masing dengan karakter dan definisi kecantikan yang berbeda. Bagi Melanie, mereka adalah sosok yang nyaman dengan dirinya sendiri, yang memilih jadi subjek, bukan objek dari tubuh dan kehidupannya.
Ia memuji keunikan mereka: edgy-nya Widi, kelembutan hati Sara, dan kekuatan karakter Pia serta Fia. Kehadiran mereka bukan sekadar untuk harmoni vokal, tetapi karena kesamaan visi: perempuan yang bergerak, bukan menunggu perubahan datang.
“‘Aku’ adalah kata paling sederhana untuk menunjukkan setiap individu, dan ‘cantik’ itu milik perempuan mana pun tanpa terkecuali,” ujarnya. Pesan ini bukan hanya untuk perempuan, tetapi juga laki-laki—bahwa kecantikan bukan patokan, melainkan pengalaman personal yang tidak berhak diputuskan orang lain.
Dari sisi produksi, Melanie bekerja sama dengan Fia Fellow sebagai co-producer, sementara proses mixing dan mastering digarap oleh Hamid Alatas di Studio Simima. Hasilnya adalah musik yang easy listening, ringan, dan—meminjam istilah generasi muda—“jogetable”, namun tetap membawa bobot pesan yang tidak ringan.
Pada akhirnya, “Cantik Itu Aku” bukan hanya lagu afirmatif. Ini adalah seruan sosial yang menolak dominasi standar kecantikan yang mengatur hidup jutaan perempuan. Sebuah ajakan untuk menegaskan diri: bahwa kecantikan tidak meminta izin, tidak menunggu validasi, dan tidak datang dari mata orang lain—melainkan dari keberanian mengatakan: aku itu cantik.
Lagu ini sudah dapat didengarkan melalui radio dan seluruh platform digital.





