Polri Gaspol Reformasi Internal, Wakapolri Akui Pengawasan Lemah dan Respons Laporan Lambat

ilustrasi polisi

Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo membeberkan langkah percepatan reformasi internal Polri dalam rapat bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (18/11/2025). Ia menyatakan, Polri kini menjalankan delapan program quick win yang disusun berdasarkan riset publik sekaligus merespons tuntutan masyarakat atas perubahan budaya dan perilaku aparat.

Menurut Dedi, Polri harus bergerak cepat meninggalkan budaya hedon, arogansi, dan penyalahgunaan kewenangan yang kerap memicu kritik publik. “Quick win ini adalah percepatan transformasi yang disusun dari riset-riset tentang apa yang dikehendaki masyarakat. Polri jangan berlaku hedon, jangan flexing,” tegasnya.

Fokus Utama: Ubah Sikap dan Budaya Anggota

Dedi menyebut perubahan sikap personel sebagai kebutuhan mendesak. Polisi diminta lebih peka pada kondisi sosial agar tak lagi memicu ketegangan dengan masyarakat. Salah satu langkahnya adalah penyusunan buku pedoman etik berisi do and don’ts sebagai batasan perilaku anggota di lapangan.

“Polri jangan melakukan tindakan arogan. Buku pedoman ini menjadi pegangan semua anggota,” ujarnya.

Pengawasan Internal Diakui Masih Lemah

Di hadapan Komisi III, Dedi blak-blakan mengakui bahwa sistem pengawasan internal Polri masih lemah dan menjadi akar munculnya tindakan menyimpang. “Kenapa terjadi arogansi dan abuse of power? Karena pengawasan kami kurang kuat,” ucapnya.

Polri disebut sedang memperkuat mekanisme pelaporan, termasuk sistem whistleblowing, agar dugaan pelanggaran bisa ditangani lebih cepat dan transparan.

Respons Laporan Publik Lambat, Di Bawah Standar

Dedi juga menyoroti lambannya penanganan laporan masyarakat. Ia menyebut waktu respons Polri masih berada di atas standar PBB yang menetapkan quick response time maksimal 10 menit.

“Masyarakat sekarang lebih mudah melapor ke pemadam kebakaran karena respons mereka lebih cepat,” kritiknya.

Ia menekankan SPKT dan hotline 110 harus dioptimalkan, terlebih 62 persen masalah pelayanan publik Polri terjadi di level Polsek, Polres, dan Polda.

Perubahan Sikap dalam Mengawal Demonstrasi

Merespons aksi massa besar pada Agustus 2025, Dedi menegaskan perlunya perubahan pendekatan aparat. Polri diminta lebih humanis dan menempatkan demonstrasi sebagai bentuk sah penyampaian aspirasi. “Unjuk rasa adalah bagian dari demokrasi. Kami harus menjaga dan menghormati aspirasi masyarakat,” tambahnya.

Polri Berambisi Pulihkan Kepercayaan Publik

Melalui program-program percepatan reformasi, Polri berharap dapat memperbaiki citra yang sempat merosot akibat serangkaian kasus arogansi, gaya hidup mewah, dan buruknya pelayanan publik. Dedi menegaskan reformasi ini menjadi pekerjaan besar yang harus dijalankan di seluruh tingkatan organisasi.

Tutup