Perusahaan Harosindo–Harrosa Bingung Kasus Lingkungan Dibahas Lagi di DPR: Minta Kepastian Hukum

Tim Legal Harrosa dan Harosindo.

Dua perusahaan di Kabupaten Bekasi, PT Harosindo Teknologi Indonesia dan PT Harrosa Darma Nusantara, menyampaikan kebingungan mereka setelah persoalan lingkungan yang telah diselesaikan kembali dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI.

Corporate Legal PT Harosindo Teknologi Indonesia, Saripudin, mengatakan materi dalam RDP tersebut tidak lagi relevan. Menurutnya, seluruh tahapan sanksi administratif dari instansi terkait sudah dijalankan perusahaan sesuai ketentuan.

“Apa yang dibahas di RDP itu sudah kami lalui. Mulai dari sidak, kemudian kami disegel, lalu kami didenda administratif, dan semuanya sudah kami jalankan. Tapi di satu sisi hal itu kembali dipersoalkan. Kami bingung dengan kepastian hukum,” ujar Saripudin di Cikarang Pusat, Rabu (19/11/2025).

Saripudin menilai terjadi dualisme tindakan. Di satu pihak, kementerian sudah memberikan sanksi dan membuka segel setelah perusahaan memenuhi kewajiban. Namun, di pihak lain, persoalan itu kembali dipertanyakan dalam forum DPR.

“Sanksi sudah diberikan dan sudah kami jalankan. Tapi masih dipersoalkan kembali dalam RDP Komisi VIII,” katanya.

Sementara itu, perwakilan Legal PT Harrosa Darma Nusantara, Dadi Mulyadi, menegaskan kedua perusahaan bukanlah pelaku pencemaran lingkungan seperti yang dituduhkan dalam laporan tertentu.

“Pada prinsipnya, kami ingin meluruskan, PT Harrosa Darma Nusantara dan PT Harosindo Teknologi Indonesia bukan perusahaan pencemar lingkungan. Sanksi yang kami terima itu soal administrasi, bukan pencemaran,” tegasnya.

Dadi menjelaskan bahwa seluruh kewajiban, mulai dari denda hingga perbaikan teknis, telah diselesaikan perusahaan. Pembayaran PNBP untuk izin teknis juga disalurkan melalui rekening resmi kementerian.

“Segel sudah dibuka karena kami sudah menunaikan pembinaan. Itu sangat jelas,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa enam poin tuduhan yang diarahkan kepada perusahaan sudah dijelaskan melalui dokumen klarifikasi, dan berharap anggota Komisi XII DPR dapat mempertimbangkan informasi tersebut secara utuh.

“DPR itu ruang demokrasi. Kami bagian dari masyarakat yang juga perlu didengar,” kata Dadi.

Menurutnya, rekomendasi kerja Komisi XII yang digunakan BPLH tidak bisa dijadikan dasar tindakan tanpa melihat pengecualian dan konteks lengkapnya.

“Jangan sampai laporan kerja DPR dijadikan legal standing untuk tindakan sewenang-wenang,” ucapnya.

Kedua perwakilan perusahaan menutup pernyataan dengan kegelisahan soal kepastian hukum yang mereka anggap semakin kabur. Kondisi itu, menurut mereka, turut memengaruhi iklim investasi di Kabupaten Bekasi.

“Kepastian hukumnya harus jelas. Landasan hukumnya juga harus jelas,” pungkas keduanya.

Tutup