Penegakan Hukum di Indonesia: Antara Harapan dan Realita

Ilustrasi Hakim

Penegakan hukum adalah fondasi utama dari negara hukum. Dalam sistem demokrasi seperti Indonesia, hukum bukan hanya simbol keadilan, melainkan juga alat untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Namun sayangnya, penegakan hukum di negeri ini masih kerap berjalan pincang. Antara harapan masyarakat dan kenyataan yang terjadi di lapangan, jurangnya masih begitu dalam.

Sejak era Reformasi 1998, Indonesia telah melakukan sejumlah perubahan dalam sistem hukum, termasuk pembentukan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial. Meski demikian, lebih dari dua dekade berlalu, keadilan hukum yang merata dan tidak tebang pilih masih menjadi mimpi panjang. Banyak masyarakat merasa bahwa hukum masih belum sepenuhnya berpihak kepada kebenaran dan keadilan.

Rilis survei Kompas bertajuk Survei Kepemimpinan Nasional pada Juni 2024 mengungkap dinamika kepercayaan publik terhadap kinerja lembaga penegak hukum di Indonesia. Salah satu temuan penting adalah menurunnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam bidang penegakan hukum. Pada Juni 2024, tingkat kepuasan publik tercatat sebesar 57,4%, mengalami penurunan dari 58,3% pada Desember 2023. Penurunan ini, meskipun tidak terlalu tajam secara angka, mencerminkan adanya kekecewaan yang perlahan namun konsisten di kalangan masyarakat.

Publik kini semakin kritis dalam menilai tindakan penegak hukum, terutama ketika muncul kasus-kasus besar yang melibatkan aparat itu sendiri mulai dari dugaan korupsi, penyalahgunaan wewenang, hingga ketimpangan dalam penanganan hukum antara rakyat kecil dan elite politik. Fakta ini menunjukkan adanya jurang antara ekspektasi masyarakat dan realitas pelaksanaan hukum. Hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan justru kerap dipersepsikan sebagai alat kekuasaan.

Ketika prinsip “equality before the law” atau persamaan di hadapan hukum tidak diterapkan secara konsisten, kepercayaan masyarakat pun tergerus. Padahal, UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Begitu pula dalam Pasal 28D ayat (1), ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Namun dalam praktiknya, hukum tampak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sering kali berujung pada vonis ringan, proses banding berlarut-larut, atau bahkan hilangnya jejak karena celah hukum. Sebaliknya, masyarakat kecil yang terpaksa mencuri demi bertahan hidup bisa langsung dijatuhi hukuman berat. Kasus seorang nenek yang mencuri beberapa buah kakao, atau seorang pemuda yang mencuri sandal jepit, adalah potret nyata ketimpangan tersebut.

Salah satu tantangan utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah budaya impunitas dan intervensi politik. Aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan masih sering tidak bebas dari tekanan kekuasaan atau pengaruh kekuatan ekonomi. Proses hukum bisa diseret ke arah yang menguntungkan segelintir pihak, mencederai rasa keadilan publik, dan memperburuk krisis kepercayaan terhadap institusi hukum.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada kemajuan. Sejumlah upaya reformasi terus dilakukan, seperti pembaruan regulasi, pembenahan institusi, serta penerapan teknologi untuk transparansi dan akuntabilitas. Penggunaan sistem e-Court, laporan publik digital, dan pemantauan sidang melalui media daring adalah langkah positif. Namun, kemajuan ini belum merata dan belum menyentuh akar masalah terdalam: integritas serta keberanian moral para penegak hukum.

Apa yang dibutuhkan hari ini bukan semata-mata perubahan sistem, melainkan juga perubahan mentalitas. Hukum harus kembali ke ruhnya: menjamin keadilan, bukan menjadi alat kekuasaan. Butuh keberanian dari seluruh elemen bangsa masyarakat, pemerintah, dan institusi hukum untuk tidak lagi memaklumi penyimpangan sekecil apa pun bentuknya. Butuh kontrol publik yang aktif dan partisipatif agar lembaga hukum tidak berjalan sendiri tanpa pengawasan.

Pada akhirnya, harapan akan penegakan hukum yang adil bukanlah sesuatu yang utopis. Tapi untuk mewujudkannya, kita semua harus berani menghadapi kenyataan dan mengubahnya. Karena hukum yang adil bukan hanya soal pasal dan ayat, melainkan tentang keberpihakan pada kebenaran. “Jika hukum terus menjadi milik mereka yang berkuasa, maka keadilan hanya akan jadi mimpi di negeri demokrasi. Kini saatnya masyarakat tak lagi diam. Karena tanpa suara rakyat, hukum hanya tinggal kata-kata.”

Penulis: Siti Wikoyatul Widiah

Tutup