GMNI Soroti Penertiban Bangli di Kabupaten Bekasi: Bangli Sempadan Sungai Justru Tanpa Tindakan Hukum
Belum lama ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi tengah gencar-gencarnya menertibkan bangunan liar (bangli) yang berdiri di bantaran sungai dan lahan fasilitas umum.
Alasan itu untuk penataan ruang dan pemulihan fungsi lingkungan. Namun, di balik deru ekskavator dan tumpukan puing, mencuat suara-suara yang mempertanyakan.
Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Bekasi, Mustakim, menyoroti ketidakadilan dalam proses penertiban bangli tersebut.
Ia menyebut bahwa banyak penggusuran dilakukan secara sporadis dan cenderung menyasar masyarakat kecil, tanpa menyentuh bangunan milik korporasi yang berada di kawasan terlarang.
“Kita sepakat bahwa bantaran sungai harus steril. Tapi harus adil. Jangan cuma warung rakyat yang digusur, sedangkan bangunan pabrik atau gudang yang jelas-jelas di lokasi yang sama malah aman-aman saja,” ujar Mustakim kepada wartawan.
Ia menyatakan bahwa tindakan pemerintah belum menyentuh aspek keadilan spasial dan sosial, serta tidak mempertimbangkan dampak kemanusiaan yang ditimbulkan.
Ironi muncul ketika aturan negara justru tampak tajam ke bawah. Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2011, bantaran sungai adalah kawasan lindung yang tak boleh digunakan untuk bangunan permanen.
Namun, GMNI mencatat bahwa di beberapa kecamatan seperti Cikarang Barat dan Tambun, bangunan komersial skala besar justru berdiri di atas tanah negara di sepanjang sempadan sungai tanpa tindakan hukum berarti.
“Kalau alasan pemerintah adalah legalitas, maka perusahaan yang tidak punya izin pun harusnya ditertibkan juga,” kata Mustakim.
Warga yang digusur mengaku tidak mendapatkan sosialisasi memadai, apalagi pendampingan atau relokasi. Sebagian besar dari mereka mengaku mendirikan lapak kecil karena keterpaksaan, bukan karena keserakahan. Mereka tinggal dan mencari nafkah di pinggir kali karena tak ada akses terhadap lahan pemukiman formal atau kios resmi yang terjangkau.
“Kalau pemerintah mau tertibkan, sediakan juga solusinya. Misalnya relokasi, tempat usaha baru, atau paling tidak rusunawa seperti di Jakarta,” ujar Mustakim.
Menurutnya, penataan ruang yang tidak dibarengi dengan pendekatan kesejahteraan hanya akan menciptakan ketimpangan dan memperparah kemiskinan struktural.
Sejak 2023, Pemkab Bekasi memang gencar membangun kawasan industri dan membuka peluang investasi. Namun di sisi lain, rakyat kecil justru dihadapkan pada pembongkaran demi pembongkaran tanpa jaminan masa depan. Narasi pembangunan tampak berpihak pada investor, bukan warga biasa.
“Ada kesan bahwa ruang hidup rakyat disingkirkan untuk memberi ruang kepada korporasi. Ini bukan pembangunan, ini penggusuran yang dibungkus perencanaan,” imbuhnya.
Pemkab Bekasi untuk Mengevaluasi
GMNI mendesak Pemkab Bekasi untuk mengevaluasi total kebijakan penertiban bangunan liar. Mereka menuntut adanya kejelasan.
“Kriteria bangunan yang ditertibkan, Kejelasan izin dan dasar hukum perusahaan yang menempati bantaran sungai,” imbuhnya.
“Rencana jangka panjang relokasi warga terdampak, Pendataan ulang kawasan sempadan sungai dan pesisir dan Transparansi proses penertiban,” sambungnya.
Mustakim menegaskan, GMNI tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan harus adil, tidak memihak, dan menjunjung tinggi hak rakyat kecil atas ruang hidup yang layak.
“Pasal 33 UUD 1945 jelas, bahwa bumi dan air harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan hanya segelintir elite ekonomi,” pungkasnya.
Pasal yang disuarakan GMNI Bekasi
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 dan 2UUPA, Pasal 1 angka 8 PP 38/2011, Pasal 65 ayat (2) PP 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, Pasal 7 UU SDA, Pasal 5 UU SDA, UUD 45 pasal 33, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Sementara itu, Kepala Bidang Trantib Satpol PP, Ganda Sasmita, tampil menjelaskan atau lebih tepatnya membantah bahwa tidak ada tebang pilih. Ia menyebut semua bangunan tanpa izin resmi dibongkar berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang Ketertiban Umum.
“Nah, yang tidak dibongkar itu mereka sudah berizin, dalam hal ini PJT II selaku pejabat yang ditunjuk pemerintah pusat untuk mengelola wilayah pengairan. Kami kroscek langsung ke PJT II, ternyata memang ada izinnya sekian tahun,” ungkap Ganda Sasmita kepada Cikarang Ekspres.
Ganda juga mengungkapkan bahwa setelah penertiban selesai, Saluran Pembuang (SP) Cikedokan akan dinormalisasi sebagai bagian dari tindak lanjut.
“Jadi akan ada tindaklanjut sehingga kita prioritaskan. Itu suratnya sudah dari 2024 akan ada normalisasi,” jelasnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa tidak ada kepentingan lain di balik penertiban ini selain mendukung pembangunan.
“Kegiatan penertiban ini tidak ada kepentingan-kepentingan tertentu, kepentingannya murni untuk pembangunan. Target kami adalah mendukung pembangunan daerah,” tandasnya.